Tampilkan postingan dengan label Bidang Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bidang Politik. Tampilkan semua postingan

Biografi Dahlan Iskan –Menteri BUMN dan si Raja Media-

Desember 22, 2013 0
Biografi Dahlan Iskan –Menteri BUMN dan si Raja Media-
Dahlan Iskan atau sering kita kenal dengan bapa BUMN yang menggantikan menteri sebelumnya Mustafa Abubakar.


Dahlan Iskan lahir pada tahun 1951di Magetan Jawa Timur, tepatnya di desa Kebun Dalam Tegalarum, Kecamatan Bando, Magetan, Jawa Timur. Karena tidak mengetahui tanggal lahirnya secarapasti maka dia menetapkan tanggal 17 Agustus 1951 sebagai hari kelahirannya. Selain mudah diingat juga memberikan semangat seperti semangat para pejuan tahun 45.


Masa Kecil Dahlan Iskan
Dahlan meruapakan empat bersaudara dan merupakan anak ketiga dari ayahanda Mohammad Iskan dan Ibunda Lisnah. Karena sejak kecil dahlan sudah terbiasa hidup apa adanya, menjadikan dahlan pribadi yang tangguh dan pejuang keras.

Terbukti saat kecil ia hanya memiliki satu stel pakaian dan satu sarung. Dahlan menggunakan sarungnya saat pakaian satu stel yang ia miliki sedang di cuci. Ia mengenakannya sampai pakaian yang ia jemur kering.
Pada saat sekolah ia tidak memiliki sepatu sehingga harus rela berjlan bepruluh puluh kilometer tanpa menggunakan alas kaki.


Karir Dahlan Iskan
Dahlan iskan mengenyam pendidikan di sekolah rakjat atau yang sekarang kita kenal sekolah dasar, kemudian ia melanjutkan belajar pada jenjang SMP lalu SLTA.

Setelah lulus SLTA ia melanjutkan belajar pada bangkku kuliah di fakultas HUKUM IAIN Sunan Ampel dan Universitas 17 Agustus. Karena Semasa kuliah ia lebih senang mengikuti kegiatan kemahasiswaan seperti Pelajar Islam Indonesia dan menulis majalah mahasiswa dan koran mahasiswa ketimbang mengikuti kuliah maka ia jadi tidak meneruskan kuliahnya.
Pada Tahun 1976, Dahlan kembali ke tanah kelahiran Surabaya kemudian bekerja sebagai wartawan majalah Tempo. Pada saat itu terjadi musibah yang bersejarah yaitu tenggelamnya kapal Tampomas. Saat itu dia menulis kabar tersebut dan menjadi top news di halaman pertama. Ternyata dari tulisan tersebut banyak sekali yang menyukai gaya tulisannya, karena itulah pimpinan Tempo mengangkat Dahlan sebagai kepala biro Tempo Jatim.

Selain menulis di harian Tempo dia juga menulis untuk surat kabar lain seperti surat kabar mingguan dan Surabaya Post. Karena hak rersebut akhirnya Pimpinan Tempo menegur Dahlam.
Diantara karir dahlan iskan yang tidak bisa dilakukan oleh lulusan SLTA pada umumnya tak terkecuali sarjanawan adalah :
1. Dahlan Iskan dan Jawa Pos
Dia mampu membuat jawa pos kembali menjadi Koran nasional yang digemari masyarakat.
2. Dahlan Menjadi Dirut PLN
Karena suksesnya dalam mengangkta kembali surat harian kompas menjad pertimbangan oleh pemerintah untuk mengangkat Dahlan iskan menjadi menteri BUMN.

Dahlan Iskan beserta istrinya Nafsiah Sabri

“Dibalik
kesuksesan pria pastilah ada peran wanita hebat yang mendukungnya sepenuh hati”. Pepatah di atas pantaslah disematkan pada Dahlan Iskan serta Nafsiah Sabri.

Nafsiah Sabri adalahistri Dahlan Iskan. Nafsiah merupakan wanita
yang sholehah, pengertian, sabar, humoris, ceria serta mandiri. Hal tersebut yang memebuat Dahlan jatuh hati padanya.

Awal pertemuan mereka berawal saat keduanya mengisi ceramah agama di
suatu radio di semarang. Waktu itu Dahlan belum menyebutkan isi hatinya. Ia cuma berani tawarkan boncengan sepeda angin untuk Nafsiah saat akan berangkat siaran radio.

" Dahulu saya
cuma mempunyai sepeda sjadi berangkat boncengan. Saya tengok kelihatannya Ia dapat jadi ibu yang hebat, " ucap Dahlan.

Pada
th. 1975, Dahlan Iskan yang saat itu berumur 25 th. serta Nafsiah Sabri yang berusia 22 th. pada akhirnya menikah.

Nafsiah Sabri
yaitu istri yang betul-betul mencintainya sepenuh hati, penurut serta sedikit menuntut. Hal semacam ini tercermin dari Nafsiah yang ingin jadikan istrinya meskipun Dahlan belum jadi apa-apa. Waktu itu Dahlan Iskan hanya reporter terlepas, DO dari kuliah serta tak berpenghasilan terus dan belum mempunyai rumah.

" Juga kehidupan
keseharian semakin banyak dibantu dari upah istri saya sebagai guru SD saat itu. Saat lahir anak pertama mereka, Azrul Ananda kita dapat menyewa rumah yang ada kamarnya walau di gang sempit, " jelasnya.

Dari pernikahan Dahlan Iskan
serta Nafsiah Sabri, mereka sudah dikaruniai dua orang anak yakni Azrul Ananda serta Isna Fitriana. Walaupun hidup mereka waktu itu serba kekurangan tetapi Nafsiah terus setia serta menyukai Dahlan. Dimulai dari Dahlanhanya seseorang reporter terlepas hingga saat Dahlan jadi menteri BUMN, Nafsiah senantiasa menemaninya juga waktu Dahlan ditransplatasi hati, Nafsiah jugalah yang menyiapkan semua kebutuhannya.

Untuk seseorang istri, Nafsiah 100% mensupport karier suaminya. Waktu Dahlan Iskan mesti turun ke jalan jual e-toll card, Nafsiah juga turut menolong suaminya berpanas-panasan menjual e-toll card.

Nafsiah
benar-benar mahir memasak. Dahlan Iskan benar-benar suka pada masakan istrinya juga ia kerap membanggakan serta tawarkan masakan istrinya itu ke wartawan serta stafnya untuk turut mencicipi. Waktu Dahlan pulang dari chek up kesehatan di Singapura, Dahlan segera pulang kerumah serta berbarengan stafnya nikmati masakan istri tercintanya, Nafsiah Sabri.


Biografi Abu Ja'far Al-Mansur: Pendiri Dinasti Abbasiyah

Biografi Abu Ja'far Al-Mansur: Pendiri Dinasti Abbasiyah

Februari 09, 2013 0
Khalifah Abu Ja'far al-Mansur (101-158 H/732-775 M) adalah putera Muhammad bin Ali bin Abdullah ibn Abbas bin Abdul Muthalib dilahirkan di Hamimah pada tahun 101 H. Ibunya bernama Salamah, bekas seorang hamba. Al-Mansur adalah saudara Ibrahim al-Imam dan Abul Abbas al-Saffah. Ketiganya dikenal sebagai tokoh pendiri dinasti Abbasiyah. Bahkan Abu Ja'far al-Mansur dikenal sebagai pendiri dinasti Abbasiyah yang sebenarnya, karena dialah peletak dasar-dasar dan sistem pemerintahan Bani Abbas. Ia pula yang mengatur politik pemerintahan dinasti Abbasiyah.

Al-Mansur memiliki kepribadian kuat, tegas, berani, cerdas, dan memiliki pemikiran cemerlang. Dalam usia 36 tahun, ia telah menjadi khalifah menggantikan kedudukan Abul Abbas al-Saffah yang telah wafat. Di usia yang begitu muda, ia tampil ke depan menyelesaikan berbagai persoalan yang tengah melanda pemerintahan dinasti Abbasiyah. Keberhasilannya dalam mengatasi persoalan-persoalan dalam negeri dinasti Bani Abbasiyah, membawa harum nama Bani Abbas dan memperkuat dasar pemerintahan dinasti Abbasiyah.

Selain itu, al-Mansur juga dikenal sebagai seorang khalifah yang agung, tegas, bijaksana, alim, berpikiran maju, pemerintahannya rapi, disegani, baik budi, dan seorang pemberani. Keberaniannya ini diperlihatkan dengan kemampuannya mengatasi pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh pamannya, yaitu Abdullah bin Ali. Karena itu, ia berhasil membangun kekuasaan dan memantapkannya dengan berbagai strategi politik dengan menyusun peraturan-peraturan, undang-undang, dan sebagainya.
Biografi Abu Ja'far Al-Mansur: Pendiri Dinasti Abbasiyah
Jalur-jalur administrasi pemerintahan, mulai dari pusat hingga ke daerah ditata dengan rapi sehingga sistem dan roda pemerintahan berjalan dengan baik. Kebijakannya ini menimbulkan dampak yang positif di kalangan para pejabat pemerintahan, karena terjadi koordinasi dan kerja sama yang baik di antara mereka. Koordinasi dan kerja sama itu terjadi antara Kepala Qadhi (Jaksa Agung), Kepala Polisi Rahasia, Kepala Jawatan Pajak, dan Kepala Jawatan Pos. Hal itu dilakukan untuk melindungi masyarakat dari berbagai tindakan yang tidak adil dengan memberikan hak-hak masyarakat.

Dengan demikian, pemerintahan Khalifah Abu Ja'far al-Mansur berjalan dengan baik, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga keamanan dan ketertiban terjamin dengan baik. Dengan kata lain, kebijakan khalifah ini sangat berpengaruh terhadap sistem dan tatanan kehidupan sosial politik, sehingga dinasti Abbasiyah mengalami perkembangan dan kemajuan dengan pesat, khususnya setelah pemerintahan berada di bawah kekuasaan Khalifah Harun al-Rasyid dan generasi penerusnya.
Biografi Harun Al-Rasyid: Puncak Kegemilangan Dinasti Abbasiyah

Biografi Harun Al-Rasyid: Puncak Kegemilangan Dinasti Abbasiyah

Februari 09, 2013 0
Khalifah Harun al-Rasyid (145-193 H/763-809 M) dilahirkan di Ray pada bulan Februari 763 M/145 H. Ayahnya bernama al-Mahdi dan ibunya bernama Khaizurran. Waktu kecil ia dididik oleh Yahya bin Khalid al-Barmaki. Ia dibesarkan dengan baik di lingkungan istana dan diasuh agar memiliki pribadi yang kuat dan berjiwa toleransi. Ayahnya telah memberikan beban dan tanggung jawab yang berat di pundaknya dengan melantiknya sebagai gubernur di Saifah pada tahun 163 H. Kemudian pada tahun 164 H diberikan wewenang untuk mengurusi seluruh wilayah Anbar dan negeri-negeri di wilayah Afrika Utara.

Untuk membantu jalannya pemerintahan di wilayah-wilayah tersebut, Harun al-Rasyid telah mengangkat wakil-wakilnya di daerah tersebut sehingga pemerintahan berjalan dengan baik. Karena keberhasilannya, pada tahun 165 H al-Mahdi melantiknya kembali menjadi gubernur untuk kedua kalinya di Saifah. Kecemerlangan dan keberhasilan yang dicapainya membawa Harun al-Rasyid menduduki jabatan sebagai putera mahkota yang akan menggantikan kedudukan ayahnya kelak. Ketika al-Mahdi meninggal dunia pada tahun 170 H, ia resmi menjadi khalifah.

Pribadi dan akhlak Harun al-Rasyid yang baik dan mulia, begitu dihormati dan disegani. Dia salah seorang khalifah yang suka bercengkrama, alim, dan dimuliakan. Selain itu, ia juga terkenal sebagai seorang pemimpin yang pemurah dan suka berderma. Suka musik, mencintai ilmu pengetahuan, dekat dengan para ulama dan penyair. Kepribadian lain yang dimiliki Khalifah Harun al-Rasyid adalah sikapnya yang tegas, mampu mengendalikan diri, tidak emosional, dan sangat peka perasaannya. Kehidupannya atas sikap-sikapnya yang baik dikemukakan oleh Abul 'Athahiyah, seorang penyair kenamaan saat itu. Selain itu, Harun al-Rasyid juga dikenal sebagai seorang khalifah yang suka humor.

Sifat-sifatnya tersebut diperlihatkan hingga ia menjadi khalifah. Harun al-Rasyid menjadi khalifah pada bulan September 786 M dalam usia 23 tahun. Ia menggantikan kedudukan saudaranya Musa al-Hadi. Sewaktu menjadi khalifah ia banyak memperoleh bantuan dari Yahya bin Khalid dan keempat puteranya.
Biografi Harun Al-Rasyid: Puncak Kegemilangan Dinasti Abbasiyah
Harun al-Rasyid adalah khalifah keenam dari dinasti Abbasiyah. Ia dikenal sebagai penguasa terbesar di dunia pada saat itu. Selain itu, Harun al-Rasyid juga dikenal sebagai penguasa yang taat beragama, saleh, dan dermawan. Karenanya tak jarang ia turun ke jalan-jalan di kota Baghdad pada malam hari untuk mengadakan inspeksi dan melihat kenyataan kehidupan sosial yang sebenarnya. Semua itu dilakukan untuk memperbaiki sistem sosial politik dan ekonomi yang berujung pada perbaikan kehidupan masyarakat miskin dan lemah.

Selama masa pemerintahannya (170-193 H/786-809 M), Bani Abbasiyah mengalami masa kejayaan. Sebab pada masa ini, terjadi banyak perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Kemajuan ini disebabkan antara lain oleh berbagai kebijakan yang dikeluarkannya. Selain itu, Harun al-Rasyid dikenal sebagai seorang khalifah yang cinta ilmu pengetahuan, sehingga ia sangat perhatian dalam masalah ini.
Biografi K.H. Ahmad Dahlan: Pendiri Muhammadiyah

Biografi K.H. Ahmad Dahlan: Pendiri Muhammadiyah

November 28, 2012 0
Kiai kharismatik ini adalah pendiri Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam modern di tanah air. K.H. Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada 1 Agustus 1868. Ayahnya bernama K.H.Abu Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta.

Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia anak keempat dari tujuh orang bersaudara. Ia termasuk keturunan kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar di antara Wali Songo.

Pada usia 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekkah selama lima tahun. Pada periode ini, ia mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridho, dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke Indonesia pada 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.

Pada 1903, ia kembali ke Mekkah. Ia menetap di sana selama dua tahun. Saat itu, ia sempat berguru kepada Syekh Ahmad Khatib, yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asy'ari.

Sepulang dari Mekkah, ia menikahi Siti Walidah, anak Kiai Penghulu H. Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya, K.H. Ahmad Dahlan mempunyai enam orang anak.

Di samping aktif dalam menuangkan gagasan tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil. Ia termasuk orang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang. Oleh karena itu, ia dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat. Bahkan, ia dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Komite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad saw.

Pada 18 November 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di Kauman, Yogyakarta. Ia mendirikan Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. Ia juga ingin mengadakan pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan Islam. Ia ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan Alquran dan hadits.

Sejak awal, ia telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik. Muhammadiyah adalah organisasi sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Gagasan  pendirian Muhammadiyah ini mendapatkan pertentangan, baik dari keluarga maupun dari masyarakat. Berbagai fitnah, dan hasutan datang bertubi-tubi kepada Ahmad Dahlan. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Bahkan, ada yang menuduhnya sebagai kiai palsu. Namun, semua rintangan itu ia hadapi dengan sabar.
Biografi K.H. Ahmad Dahlan: Pendiri Muhammadiyah
Pada 20 Desember 1912, ia mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan status badan hukum. Namun, permohonan itu baru dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1914. Izin itu pun hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta.

Pemerintah Hindia Belanda merasa khawatir dengan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatan organisasi dibatasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun walaupun dibatasi, perkembangan Muhammadiyah di daerah lain, seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri berkembang cukup pesat. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. K.H. Ahmad Dahlan kemudian mengusulkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta menggunakan nama lain. Misalnya, Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, dan perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) di Solo.

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota. Selain itu, juga melalui rekanan-rekanan dagang Ahmad Dahlan. Gagasan ini ternyata mendapat sambutan yang besar dari masyarakat Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah, menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah pun makin berkembang hampir di seluruh Indonesia.

Pada 7 Mei 1921, ia mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 2 September 1921. Atas jasa-jasanya, pemerintah RI menetapkan Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional. Kiai kharismatik ini wafat di Yogyakarta, pada 23 Februari 1923.

*) Dari berbagai sumber
Biografi Mohammad Natsir: Kiai Perdana Menteri

Biografi Mohammad Natsir: Kiai Perdana Menteri

Oktober 22, 2012 0
Mohammad Natsir adalah perdana menteri Indonesia pada masa pemerintahan parlementer. Ia juga dikenal sebagai seorang kiai kharismatik pada masanya. Natsir adalah seorang pemimpin Masyumi dan salah seorang tokoh politik dan tokoh Islam di Indonesia.

Mohammad Natsir lahir di kota Alahan Panjang, Sumatera Barat, pada 17 Juli 1908. Ketika kecil, ia belajar di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Adabiyah di Padang. Kemudian ia dipindahkan oleh kedua orang tuanya ke HIS pemerintah di Solok dan di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Saat belajar di HIS Solok, Natsir tinggal di rumah Haji Musa, seorang saudagar. Di sana, ia menerima cukup banyak ilmu. Pagi hari, ia belajar di HIS sementara pada malam hari ia belajar al-Quran.

Pada 1923 - 1927, Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang. Saat sekolah di kota ini, ia menjadi anggota Jong Islamieten Bond (JIB) Padang. Ia pun bersentuhan langsung dengan gerakan perjuangan. Pada 1927, ia melanjutkan pendidikan ke Algemene Middelbare School (AMS) Bandung hingga tamat pada 1930. Di kota Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional, seperti Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, dan Sutan Syahrir. Pada 1932, Natsir berguru kepada Ahmad Hasan, yang kelak menjadi tokoh dan ketua organisasi Persis (Persatuan Islam).

Natsir lulus dari AMS dengan prestasi gemilang. Ia ditawari oleh pemerintah Belanda untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Jakarta, Fakultas Ekonomi Rotterdam, Belanda, atau menjadi pegawai pemerintah. Namun, ia menolak semua tawaran itu. Ia malah memilih untuk aktif dalam politik dan dakwah Islam. Karena kejujurannya, pada masa kemerdekaan ia dipercaya menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan RI. Sejak 5 September 1950, Natsir diangkat sebagai Perdana Menteri RI menggantikan Abdul Halim. Kemudian pada 26 April 1951 ia digantikan oleh Sukirman Wirjosandjojo.
Biografi Mohammad Natsir: Kiai Perdana Menteri
Ketika menjabat sebagai Perdana Menteri RI, ia selalu berpenampilan sederhana, lengkap dengan peci hitam dan sorban putih yang dililitkan di lehernya. Bahkan saat itu ia menolak fasilitas kendaraan dinas dari negara. Ia hanya mau menerima sepeda sebagai kendaraan dinasnya. Bahkan ketika berhenti menjadi Perdana Menteri, ia mengembalikannya kepada pemerintah. Menurutnya, sepeda itu milik negara, milik bangsa Indonesia.

Pada masa tuanya, Mohammad Natsir aktif di berbagai organisasi Islam internasional, seperti World Moslem Congress (Kongres Muslim Sedunia) sebagai Wakil Presiden pada 1967 yang berpusat di Karachi, Pakistan. Kemudian pada 1969, ia menjadi anggota World Moslem League (Liga Muslim Sedunia) yang sekarang dikenal dengan Rabithah Al-Alam Al-Islami dan berpusat di Mekkah, Saudi Arabia. Pada 1976, ia menjadi anggota Al-Majlis Al-A'la Al-'Alami li Al-Masajid (Dewan Masjid Sedunia) yang juga berpusat di Mekkah, Saudi Arabia.

Sementara di Indonesia, sejak 1967 sampai akhir hayatnya, Mohammad Natsir dipercaya menjadi Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang berpusat di Jakarta. Beliau wafat di Jakarta pada 6 Februari 1993.

*) Dari berbagai sumber
Biografi Buya Hamka: Ulama Otodidak

Biografi Buya Hamka: Ulama Otodidak

Oktober 08, 2012 0
Hamka (1908 – 1981) adalah akronim dari Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik, dan penulis Indonesia yang terkenal di nusantara. Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat. Ayahnya bernama Syekh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenal sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Belakangan, Hamka mendapat sebutan Buya, panggilan untuk orang Minang yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau hingga kelas dua. Ketika berusia 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatra Thawalib di Padang Panjang. Di sana, ia mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pelajaran agama dari ulama terkenal, seperti Syekh Ibrahim Musa, Syekh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto, dan Ki Bagus Hadikusumo.

Pada 1927, Hamka bekerja sebagai guru agama di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Lalu, pada 1929 ia menjadi guru agama di Padang Panjang. Kemudian, ia dilantik menjadi dosen Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang dari tahun 1957 – 1958. Setelah itu, ia diangkat menjadi Rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.

Sejak 1951 hingga 1960, ia diangkat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia. Namun, ia meletakkan jabatan itu. Ketika itu, Soekarno menyuruh ia untuk memilih menjadi pegawai negeri atau aktif dalam Masyumi.

Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai ilmu pengetahuan, baik dari sisi Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia mampu meneliti karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah, Misalnya, Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Husain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris, dan Jerman. Misalnya, Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. Ia juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta. Misalnya, HOS. Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui oraganisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendidikan Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid’ah, tarekat, dan kebatinan sesat di Padang Panjang.
Biografi Buya Hamka: Ulama Otodidak
Tahun 1928, ia menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah. Dua tahun kemudian, ia menjadi konsultan Muhammadiyah di Makassar. Kemudian, ia juga terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah. Ia menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada 1946.

Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi Ketua Barisan Pertahanan Nasional Indonesia. Pada 1953, Hamka terpilih sebagai Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Namun, pada 1981 ia meletakkan jabatan tersebut karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Dari 1964 hingga 1966, Hamka selalu dipenjarakan oleh Presiden Soekarno. Ia dituduh pro-Malaysia. Selama di penjara, ia menulis Tafsir Al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, ia diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia, dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik. Hamka juga seorang wartawan, penulis, dan editor. Sejak 1920-an, ia menjadi wartawan beberapa surat kabar, seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada 1932, ia menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makasar. Ia juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif, seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir Al-Azhar (5 jilid). Di antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa, seperti kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas Al-Azhar pada 1958, Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia pada 1974, dan gelar Datuk Indono dan Pangeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Hamka wafat pada 24 Juli 1981. Jasa dan pengaruh Hamka masih tersisa hingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan saja diterima sebagai tokoh, ulama, sastrawan di tanah kelahirannya. Jasa Hamka juga dikenal di Malaysia dan Singapura.

*) Dari berbagai sumber