Tampilkan postingan dengan label Bidang Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bidang Agama. Tampilkan semua postingan
Biografi Sunan Giri

Biografi Sunan Giri

September 28, 2013 0
Nama asil Sunan Giri adalah Muhammad Ainul Yaqin. Nama kecil Sunan Giri adalah Raden Paku. Ia lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada tahun 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya, seorang putri raja Blambangan yang bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut oleh Nyai Semboja. Ayahnya adalah Maulana Ishak, saudara kandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil mengislamkan istrinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah, ia meninggalkan keluarga istrinya berkelana ke Samudera Pasai.

Sunan Giri menuntut ilmu di pesantren Ampel Denta, lembaga pendidikan yang didirikan oleh Sunan Ampel. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, giri berarti bukit. Oleh karena itu, ia memperoleh julukan dengan sebutan Sunan Giri. Lembaga pendidikan Islam yang didirikannya itu tidak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, juga dijadikan sebagai pusat pengembangan masyarakat. Dalam perjalanannya, pesantren ini tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat, karena banyak santri dari berbagai daerah berdatangan ke pesantren Giri ini. Melihat perkembangan yang sangat pesat ini, konon raja Majapahit sempat merasa khawatir jika Sunan Giri melakukan gerakan pemberontakan. Untuk mengantisipasi hal ini, raja Majapahit memberi keleluasaan kepadanya untuk ikut terlibat dalam pemerintahan, selain mengembangkan lembaga pendidikan itu. Dalam perkembangan selanjutnya, pesantren itu pun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.

Dalam catatan sejarah, Giri Kedaton kemudian tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tidak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Selain sebagai panglima militer, Sunan Giri diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan setanah Jawa. Giri Kedaton yang didirikan Sunan Giri bertahan hingga 200 tahun. Sepeninggal Sunan Giri, lembaga ini dipegang oleh generasi sesudahnya, salah seorang penerusnya adalah Pangeran Singonsari, yang dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada abad ke-18 M.

Biografi Sunan Giri

Selain itu, para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar agama Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Maluku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam di Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau. Dalam bidang keagamaan, Sunan Giri dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fiqh. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Faqih. Ia juga penciptan karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, Ilir-ilir dan Cublak Suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung, lagu bernuansa Jawa namun sarat dengan ajaran Islam.
Biografi Wali Songo Sunan Ampel

Biografi Wali Songo Sunan Ampel

September 19, 2013 0
Sunan Ampel adalah putra tertua Maulana Malik Ibrahim. Nama aslinya adalah Raden Rahmat dilahirkan pada tahun 1401 M di Campa dari seorang ibu keturunan Raja Campa. Nama Ampel sendiri, dilekatkan pada sebuah tempat ia bermukim, yaitu Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya, kota Wonokromo sekarang. Terdapat beberapa versi mengenai kedatangannya ke Pulau Jawa. Ada yang menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke Pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama adik kandungnya bernama Sayid Ali Murtadha. Sebelum sampai ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1440 M. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudia ia melabuh ke daerah Gresik. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan ke Majapahit untuk menemui bibinya seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.

Setelah menetap di Jawa, Sunan Ampel kemudian menikah dengan putri adipati Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putra dan putri. Salah seorang keturunannya yang menjadi penerus usaha dakwahnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak hendak didirikan, Sunan Ampel turut serta di dalam pembentukan kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya, Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak pada tahun 1475 M.

Ampel Denta, merupakan daerah rawa yang dihadiahkan raja Majapahit kepadanya. Di tempat inilah, Sunan Ampel membangun dan megembangkan pondok pesantren, yang kemudian dikenal dengan sebutan pesantren Ampel Denta. Untuk mewujudkan keinginannya itu, ia banyak merangkul masyarakat sekitar untuk membantu mendirikan lembaga pendidikan Islam tersebut. Pada pertengahan abad ke-15 M, pesantren Ampel Denta menjadi pusat pendidikan Islam yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara, bahkan hingga ke manca negara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.

Biografi Wali Songo Sunan Ampel

Materi agama yang disampaikan dalam pendidikan di lembaga pendidikan itu masih sangat dasar. Hal ini didasari atas kenyataan bahwa masyarakat sekitar Ampel Denta belum memiliki pengetahuan ajaran Islam yang memadai. Sehingga ajaran yang disampaikan lebih ditekankan pada aspek-aspek aqidah dan ibadah. Sunan Ampel pula yang mengenalkan istilah, "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina". Istilah ini sarat dengan makna moral yang sangat dalam, yang hingga kini masih dipertahankan di dalam kehidupan masyarakat Jawa khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Usaha kerja keras yang dilakukan Sunan Ampel dalam pengembangan masyarakat Islam di Ampel Denta, membuahkan hasil. Hal ini dapat diketahui dari banyaknya penduduk sekitar dan luar Ampel Denta yang datang belajar kepadanya di pondok pesantren Ampel Denta, sehingga daerah tersebut menjadi pusat pendidikan Islam. Selain itu, ia juga terus mengembangkan agama Islam hingga luar Ampel Denta, terutama di Demak. Di kota inilah Sunan Ampel wafat pada tahun 1491 M, dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya, Jawa Timur.
Biografi Wali Songo Syekh Maulana Malik Ibrahim

Biografi Wali Songo Syekh Maulana Malik Ibrahim

September 17, 2013 0
Syekh Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M). Nama lengkap Maulana Malik Ibrahim adalah Maulana Mahdum Ibrahim as-Samarkandi. Ia diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh pertama abad ke-14 M. Terkadang, Maulana Malik Ibrahim juga disebut Syekh Maghribi. Maulana Malik Ibrahim memiliki hubungan saudara dengan Maulana Ishak, seorang ulama terkenal di Samudera Pasai. Ia adalah ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai generasi ke-10 dari Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad saw.

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama 13 (tiga belas) tahun, mulai tahun 1379 hingga 1392 M, dan menikah dengan putri raja Campa. Dari perkawinan ini lahir dua putra, yaitu Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri.

Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Campa sekitar 13 tahun. Karena merasa telah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahun 1392 M, Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya di negeri Campa. Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai oleh beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran Kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik, Jawa Timur.

Ketika berada di daerah itu, aktivitas pertama yang dilakukannya adalah berdagang, dengan cara membuka warung, yang menyediakan bahan kebutuhan pokok murah. Selain itu, secara khusus Maulana Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Biografi Wali Songo Syekh Maulana Malik Ibrahim

Selain itu, Maulana Malik Ibrahim juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Untuk melakukan pekerjaan tersebut, ia merangkul masyarakat bawah yang ketika itu tengah menderita krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran maka pada tahun 1419 M, Maulana Malik Ibrahim wafat, dan dimakamkan di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
Biografi Abu Ja'far Al-Mansur: Pendiri Dinasti Abbasiyah

Biografi Abu Ja'far Al-Mansur: Pendiri Dinasti Abbasiyah

Februari 09, 2013 0
Khalifah Abu Ja'far al-Mansur (101-158 H/732-775 M) adalah putera Muhammad bin Ali bin Abdullah ibn Abbas bin Abdul Muthalib dilahirkan di Hamimah pada tahun 101 H. Ibunya bernama Salamah, bekas seorang hamba. Al-Mansur adalah saudara Ibrahim al-Imam dan Abul Abbas al-Saffah. Ketiganya dikenal sebagai tokoh pendiri dinasti Abbasiyah. Bahkan Abu Ja'far al-Mansur dikenal sebagai pendiri dinasti Abbasiyah yang sebenarnya, karena dialah peletak dasar-dasar dan sistem pemerintahan Bani Abbas. Ia pula yang mengatur politik pemerintahan dinasti Abbasiyah.

Al-Mansur memiliki kepribadian kuat, tegas, berani, cerdas, dan memiliki pemikiran cemerlang. Dalam usia 36 tahun, ia telah menjadi khalifah menggantikan kedudukan Abul Abbas al-Saffah yang telah wafat. Di usia yang begitu muda, ia tampil ke depan menyelesaikan berbagai persoalan yang tengah melanda pemerintahan dinasti Abbasiyah. Keberhasilannya dalam mengatasi persoalan-persoalan dalam negeri dinasti Bani Abbasiyah, membawa harum nama Bani Abbas dan memperkuat dasar pemerintahan dinasti Abbasiyah.

Selain itu, al-Mansur juga dikenal sebagai seorang khalifah yang agung, tegas, bijaksana, alim, berpikiran maju, pemerintahannya rapi, disegani, baik budi, dan seorang pemberani. Keberaniannya ini diperlihatkan dengan kemampuannya mengatasi pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh pamannya, yaitu Abdullah bin Ali. Karena itu, ia berhasil membangun kekuasaan dan memantapkannya dengan berbagai strategi politik dengan menyusun peraturan-peraturan, undang-undang, dan sebagainya.
Biografi Abu Ja'far Al-Mansur: Pendiri Dinasti Abbasiyah
Jalur-jalur administrasi pemerintahan, mulai dari pusat hingga ke daerah ditata dengan rapi sehingga sistem dan roda pemerintahan berjalan dengan baik. Kebijakannya ini menimbulkan dampak yang positif di kalangan para pejabat pemerintahan, karena terjadi koordinasi dan kerja sama yang baik di antara mereka. Koordinasi dan kerja sama itu terjadi antara Kepala Qadhi (Jaksa Agung), Kepala Polisi Rahasia, Kepala Jawatan Pajak, dan Kepala Jawatan Pos. Hal itu dilakukan untuk melindungi masyarakat dari berbagai tindakan yang tidak adil dengan memberikan hak-hak masyarakat.

Dengan demikian, pemerintahan Khalifah Abu Ja'far al-Mansur berjalan dengan baik, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga keamanan dan ketertiban terjamin dengan baik. Dengan kata lain, kebijakan khalifah ini sangat berpengaruh terhadap sistem dan tatanan kehidupan sosial politik, sehingga dinasti Abbasiyah mengalami perkembangan dan kemajuan dengan pesat, khususnya setelah pemerintahan berada di bawah kekuasaan Khalifah Harun al-Rasyid dan generasi penerusnya.
Biografi Harun Al-Rasyid: Puncak Kegemilangan Dinasti Abbasiyah

Biografi Harun Al-Rasyid: Puncak Kegemilangan Dinasti Abbasiyah

Februari 09, 2013 0
Khalifah Harun al-Rasyid (145-193 H/763-809 M) dilahirkan di Ray pada bulan Februari 763 M/145 H. Ayahnya bernama al-Mahdi dan ibunya bernama Khaizurran. Waktu kecil ia dididik oleh Yahya bin Khalid al-Barmaki. Ia dibesarkan dengan baik di lingkungan istana dan diasuh agar memiliki pribadi yang kuat dan berjiwa toleransi. Ayahnya telah memberikan beban dan tanggung jawab yang berat di pundaknya dengan melantiknya sebagai gubernur di Saifah pada tahun 163 H. Kemudian pada tahun 164 H diberikan wewenang untuk mengurusi seluruh wilayah Anbar dan negeri-negeri di wilayah Afrika Utara.

Untuk membantu jalannya pemerintahan di wilayah-wilayah tersebut, Harun al-Rasyid telah mengangkat wakil-wakilnya di daerah tersebut sehingga pemerintahan berjalan dengan baik. Karena keberhasilannya, pada tahun 165 H al-Mahdi melantiknya kembali menjadi gubernur untuk kedua kalinya di Saifah. Kecemerlangan dan keberhasilan yang dicapainya membawa Harun al-Rasyid menduduki jabatan sebagai putera mahkota yang akan menggantikan kedudukan ayahnya kelak. Ketika al-Mahdi meninggal dunia pada tahun 170 H, ia resmi menjadi khalifah.

Pribadi dan akhlak Harun al-Rasyid yang baik dan mulia, begitu dihormati dan disegani. Dia salah seorang khalifah yang suka bercengkrama, alim, dan dimuliakan. Selain itu, ia juga terkenal sebagai seorang pemimpin yang pemurah dan suka berderma. Suka musik, mencintai ilmu pengetahuan, dekat dengan para ulama dan penyair. Kepribadian lain yang dimiliki Khalifah Harun al-Rasyid adalah sikapnya yang tegas, mampu mengendalikan diri, tidak emosional, dan sangat peka perasaannya. Kehidupannya atas sikap-sikapnya yang baik dikemukakan oleh Abul 'Athahiyah, seorang penyair kenamaan saat itu. Selain itu, Harun al-Rasyid juga dikenal sebagai seorang khalifah yang suka humor.

Sifat-sifatnya tersebut diperlihatkan hingga ia menjadi khalifah. Harun al-Rasyid menjadi khalifah pada bulan September 786 M dalam usia 23 tahun. Ia menggantikan kedudukan saudaranya Musa al-Hadi. Sewaktu menjadi khalifah ia banyak memperoleh bantuan dari Yahya bin Khalid dan keempat puteranya.
Biografi Harun Al-Rasyid: Puncak Kegemilangan Dinasti Abbasiyah
Harun al-Rasyid adalah khalifah keenam dari dinasti Abbasiyah. Ia dikenal sebagai penguasa terbesar di dunia pada saat itu. Selain itu, Harun al-Rasyid juga dikenal sebagai penguasa yang taat beragama, saleh, dan dermawan. Karenanya tak jarang ia turun ke jalan-jalan di kota Baghdad pada malam hari untuk mengadakan inspeksi dan melihat kenyataan kehidupan sosial yang sebenarnya. Semua itu dilakukan untuk memperbaiki sistem sosial politik dan ekonomi yang berujung pada perbaikan kehidupan masyarakat miskin dan lemah.

Selama masa pemerintahannya (170-193 H/786-809 M), Bani Abbasiyah mengalami masa kejayaan. Sebab pada masa ini, terjadi banyak perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Kemajuan ini disebabkan antara lain oleh berbagai kebijakan yang dikeluarkannya. Selain itu, Harun al-Rasyid dikenal sebagai seorang khalifah yang cinta ilmu pengetahuan, sehingga ia sangat perhatian dalam masalah ini.
Biografi K.H. Ahmad Dahlan: Pendiri Muhammadiyah

Biografi K.H. Ahmad Dahlan: Pendiri Muhammadiyah

November 28, 2012 0
Kiai kharismatik ini adalah pendiri Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam modern di tanah air. K.H. Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada 1 Agustus 1868. Ayahnya bernama K.H.Abu Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta.

Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia anak keempat dari tujuh orang bersaudara. Ia termasuk keturunan kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar di antara Wali Songo.

Pada usia 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekkah selama lima tahun. Pada periode ini, ia mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridho, dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke Indonesia pada 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.

Pada 1903, ia kembali ke Mekkah. Ia menetap di sana selama dua tahun. Saat itu, ia sempat berguru kepada Syekh Ahmad Khatib, yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asy'ari.

Sepulang dari Mekkah, ia menikahi Siti Walidah, anak Kiai Penghulu H. Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya, K.H. Ahmad Dahlan mempunyai enam orang anak.

Di samping aktif dalam menuangkan gagasan tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil. Ia termasuk orang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang. Oleh karena itu, ia dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat. Bahkan, ia dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Komite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad saw.

Pada 18 November 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di Kauman, Yogyakarta. Ia mendirikan Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. Ia juga ingin mengadakan pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan Islam. Ia ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan Alquran dan hadits.

Sejak awal, ia telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik. Muhammadiyah adalah organisasi sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Gagasan  pendirian Muhammadiyah ini mendapatkan pertentangan, baik dari keluarga maupun dari masyarakat. Berbagai fitnah, dan hasutan datang bertubi-tubi kepada Ahmad Dahlan. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Bahkan, ada yang menuduhnya sebagai kiai palsu. Namun, semua rintangan itu ia hadapi dengan sabar.
Biografi K.H. Ahmad Dahlan: Pendiri Muhammadiyah
Pada 20 Desember 1912, ia mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan status badan hukum. Namun, permohonan itu baru dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1914. Izin itu pun hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta.

Pemerintah Hindia Belanda merasa khawatir dengan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatan organisasi dibatasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun walaupun dibatasi, perkembangan Muhammadiyah di daerah lain, seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri berkembang cukup pesat. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. K.H. Ahmad Dahlan kemudian mengusulkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta menggunakan nama lain. Misalnya, Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, dan perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) di Solo.

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota. Selain itu, juga melalui rekanan-rekanan dagang Ahmad Dahlan. Gagasan ini ternyata mendapat sambutan yang besar dari masyarakat Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah, menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah pun makin berkembang hampir di seluruh Indonesia.

Pada 7 Mei 1921, ia mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 2 September 1921. Atas jasa-jasanya, pemerintah RI menetapkan Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional. Kiai kharismatik ini wafat di Yogyakarta, pada 23 Februari 1923.

*) Dari berbagai sumber
Biografi Ahmad Hasan: Guru Utama Persatuan Islam

Biografi Ahmad Hasan: Guru Utama Persatuan Islam

November 27, 2012 0
Ahmad Hasan lahir di Singapura pada 1887 dengan nama Hasan bin Ahmad. Ia berasal dari keluarga keturunan Indonesia dan India. Ayahnya bernama Ahmad, sedangkan ibunya bernama Muznah. Masa kecil A. Hasan dilewatinya di Singapura. Pendidikannya dimulai di sekolah dasar. Kemudian, ia masuk Sekolah Melayu dan belajar di sekolah pemerintah Inggris sambil belajar bahasa Tamil dari ayahnya. Di sekolah melayu, ia belajar bahasa Arab, Melayu, Tamil, dan Inggris. Pada saat berusia tujuh tahun, ia belajar Alquran dan memperdalam agama Islam.

Ahmad Hasan mulai bekerja pada usia 12 tahun sambil belajar bahasa Arab. Ia pun terus mengaji pada H. Ahmad di Bukittiung dan Muhammad Thaib di Minto Road. Ketika gurunya menunaikan ibadah haji, ia beralih mempelajari bahasa Arab kepada Said Abdullah al-Musawi. Selain itu, ia pun belajar kepada pamannya, Abdul Lathif, seorang ulama terkenal di Malaka dan Singapura. Ia juga berguru kepada Syekh Hasan dari Malabar dan Syekh Ibrahim dari India.

Sejak 1910 sampai 1913, ia menjadi pengajar di madrasah orang-orang India di Arab Street, Baghdad Street, dan Geylang Singapura. Ia juga menjadi pengajar di Madrasah Assegaf. Sekitar 1912-1913, ia menjadi anggota redaksi surat kabar Utusan Melayu yang diterbitkan Singapore Press. Ia banyak menulis artikel tentang Islam. Selain itu, ia pun sering menyampaikan ide-idenya dalam pidato.

Pada 1921, A. Hasan pindah ke Surabaya. Ia berniat melanjutkan pengelolaan toko tekstil milik pamannya. Saat itu, Surabaya menjadi tempat perdebatan antara kaum pembaharuan pemikiran Islam dengan kaum tradisionalis. Perhatiannya pun untuk memperdalam Islam makin serius setelah menyaksikan pertentangan tersebut.

Perkenalan A. Hasan dengan Persis sebenarnya terjadi secara tidak sengaja. Tiba di Surabaya, ia tidak jadi berjualan kain. Ia malah mempelajari pertenunan di Kediri. Lalu ia memperdalam pertenunan di Bandung. Di Bandung, ia tinggal di rumah keluarga Muhammad Yunus, salah seorang pendiri Persis. Akhirnya, A. Hasan mengabdikan dirinya dalam penelaahan dan pengkajian Islam dengan berkiprah di Persis.

Dalam keseharainnya, A. Hasan selalu berpakaian ala Indonesia. Padahal, ia seorang muslim keturunan India. Ia suka memakai peci hitam dan sarung dari kain pelekat, jas putih tutup leher, dan sepasang sepatu. Kebiasaan lainnya adalah ia senang memanggil orang lain dengan sapaan "Tuan". Hal itu ia lakukan baik kepada seseorang yang berusia lebih tua maupun lebih muda. Ia juga lebih senang dipanggil "Tuan" daripada dipanggil "Bapak". Karena itulah, ia terkenal juga dengan panggilan "Tuan Hasan".

Sebenarnya, ia masuk Persis bukan karena tertarik dengan paham-pahamnya. Namun, karena justru A. Hasanlah yang membawa Persis menjadi gerakan ishlah. Ia sadar bahwa pemikirannya harus dituangkan dalam sebuah gerakan agar bisa berkembang efektif. Ia membawa Persis menjadi organisasi pembaharu yang terkenal tegas dalam masalah fiqih. A. Hasan dengan Persis banyak terlibat dalam berbagai pertukaran pikiran, dialog terbuka, atau perdebatan di berbagai media.
Biografi Ahmad Hasan: Guru Utama Persatuan Islam
Pada 1941, menjelang pendudukan Jepang, A. Hasan kembali ke Surabaya. Kepindahannya itu pun diikuti oleh sebagain santrinya dari Persis, Bandung. Di Bangil, kota kecil dekat Surabaya, ia mendirikan pesantren untuk para santrinya. Di sanalah ia menumpahkan perhatiannya kepada penelitian agama Islam, langsung dari sumber pokoknya, Alquran dan Sunah. Dalam kehidupan dan perjuangannya, A. Hasan telah menghasilkan 80 judul buku. Dengan gaya penulisan yang khas, dan mudah dipahami.

Puncaknya, ia berhasil menyusun tafsir Alquran yang berjudul Al-Furqan. Al-Furqan ini merupakan kitab tafsir Alquran pertama di Indonesia. Pada 1956 untuk kali pertama, tafsirnya diterbitkan secara lengkap.

A. Hasan juga banyak melahirkan tokoh besar. Di antaranya, Mohammad Natsir, K.H. M. Isa Anshory, K.H. E. Abdurrahman, dan K.H. Rusyad Nurdin. Ia juga memberikan andil besar terhadap pemikiran keislaman Presiden Soekarno. Bung Karno suka meminta buku dan majalah karya A. Hasan saat menjalani masa pembuangan oleh penjajah Belanda di Ende, Flores.

Surat-surat Bung Karno kepada A. Hasan menjadi saksi akan kedekatan mereka. Meskipun sebelumnya, di antara mereka terjadi perdebatan pemikiran berkepanjangan tentang Islam dan nasionalisme.

Saat Soekarno ditahan di penjara Sukamiskin, A. Hasan kerap mengunjunginya dan memberikan buku-buku bacaan. Ia menganggap Bung Karno sebagai kawannya. Saking dekatnya, ketika A. Hasan dirawat di Rumah Sakit Malang, Soekarno memberikan sejumlah uang untuk biaya pengobatan A. Hasan.

A. Hasan wafat pada 10 November 1958, di RS. Karangmenjangan (RS. Dr. Soetomo) Surabaya. Ia wafat dalam usia 71 tahun. Ia adalah seorang ulama besar yang telah menorehkan sejarah baru dalam gerakan pemurnian ajaran Islam di Indonesia.

*) Dari berbagai sumber
Biografi Imam Hanbal: Pendiri Mazhab Hanbali

Biografi Imam Hanbal: Pendiri Mazhab Hanbali

November 25, 2012 0
Imam Hanbal (164-241 H/780-855 M). Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah atau Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Lahir di Baghdad pada tahun 164 H/780 M. Dalam perjalanan hidupnya, beliau banyak melakukan pengembaraan ilmiah untuk menuntut ilmu pengetahuan dari para ulama terkenal saat itu.

Ketika berada di Baghdad, beliau berguru kepada Imam Syafi'i. Imam Ahmad bin Hanbal pernah mengalami masa-masa pahit ketika al-Makmun berkuasa. Beliau mengalami mihnah, ujian khusus bagi para hakim dan ulama mengenai kemakhlukan al-Quran, yang menyebabkan beliau dipenjara karena tidak mau mengakui kemakhlukan al-Quran.

Pokok mazhab beliau sama dengan mazhab Imam Syafi'o, yaitu al-Quran, sunah, fatwa sahabat, ijma', qiyas, istishab, al-mashalihul mursalah, dan al-zara'i. Beliau tidak menulis kitab fiqih, melainkan para muridnya yang menghimpun pemikirannya di kemudian hari.
Biografi Imam Hanbal: Pendiri Mazhab Hanbali
Meskipun begitu, beliau dikenal sebagai penulis hadits, yaitu Musnad Ahmad bin Hanbal, yang memuat 40.000 hadits. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai tokoh yang menerima argumentasi dengan hadits mursal dan hadits dha'if hingga klasifikasi hadits hasan.

*) Dari berbagai sumber
Biografi Imam Syafi'i: Pendiri Mazhab Syafi'iyah

Biografi Imam Syafi'i: Pendiri Mazhab Syafi'iyah

November 25, 2012 0
Imam Syafi'i (150-204 H/767-820 M). Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Hasyimi al-Muthalibi bin Abbas bin Usman bin As-Syafi'i. Lahir di Gaza, Palestina pada tahun 159 H/767 M dan wafat di Mesir pada tahun 204 H/820 M. Sejak kecil beliau telah menjadi yatim. Kemudian diajak oleh ibunya pergi ke Mekkah, tempat kelahiran nenek moyangnya.

Sejak usia kanak-kanak beliau telah hafal al-Quran dan belajar sastra Arab dari sastrawan terkenal di pedalaman (al-Badiyah) kepada al-Huzail hingga beliau menguasai bahasa dan sastra Arab dengan baik. Bahkan dalam usia 15 tahun beliau telah diizinkan oleh gurunya, Muslim bin Khalid, seorang mufti Mekkah untuk mengeluarkan fatwa. Setelah itu, beliau pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik bin Anas. Di kota ini beliau belajar dengan Imam Malik dan mengkaji kitab al-Muwaththa' dengan baik. Bahkan dalam tempo sembilan malam beliau telah menghafal keseluruhan isi kitab tersebut dengan baik.

Setelah itu beliau melakukan pengembaraan ilmiahnya ke Yaman, Baghdad (182-195 H/798-811 M), Mekkah (187-195 H/803-811 M) untuk berguru kepada Imam Ahmad bin Hanbal mengenai ilmu fiqih dan ushul fiqih, hingga Mesir (200-204 H/816-820 M). Di kota-kota inilah beliau banyak bertemu dengan para ahli dalam berbagai bidang pengetahuan sehingga wawasannya semakin bertambah. Di Baghdad, Imam Syafi'i menulis buku berjudul al-Hujjah, yang kemudian dikenal dengan istilah Qaul Qadim. Setelah kepergiannya ke Mesir, beliau mengarang mazhabnya yang baru.
Biografi Imam Syafi'i: Pendiri Mazhab Syafi'iyah
Pokok mazhabnya secara berturut-turut merujuk kepada al-Quran, sunah, ijma', dan qiyas. Beliau tidak mengambil aqwal al-shahabah sebagai rujukan. Menurutnya, pendapat para sahabat adalah ijtihad yang mengandung kemungkinan salah dan benar. Beliau juga meninggalkan praktik istihsan yang dipakai oleh mazhab Malikiyah dan Hanafiyah. Di antara karya beliau yang sangat monumental adalah al-Umm dan al-Risalah.

*) Dari berbagai sumber
Biografi Imam Malik: Pendiri Mazhab Malikiyah

Biografi Imam Malik: Pendiri Mazhab Malikiyah

November 22, 2012 0
Imam Malik (93-179 H/716-795 M). Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah Malik bin Anas bin Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi. Beliau salah seorang keturunan bangsa Yaman, lahir di Madinah pada masa Khalifah al-Walid bin Abdul Malik tahun 93 H/716 M dan wafat pada masa Khalifah Harun al-Rasyid tahun 179 H/795 M.

Beliau terkenal dengan sebutan Imam Dar al-Hijrah, yang menjadi panutan penduduk Madinah. Beliau seorang pakar dalam bidang ilmu fiqih dan hadits setelah tabi'in, beliau juga terkenal sebagai ahli ilmu kalam, sebagaimana tercermin dalam karyanya al-Muwaththa.

Imam Malik berguru menuntut ilmu dari Nafi Maula bin Amr (w. 117 H/735 M) dan Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 124 H/742 M). Gurunya dalam bidang fiqih adalah Rabi'ah bin Abdurrahman yang dikenal dengan nama Rabi'ah al-Ra'yi (w. 136 H/753 M).
Biografi Imam Malik: Pendiri Mazhab Malikiyah
Dalam hal lain, Imam Syafi'i menganggap Imam Malik adalah gurunya, karena ia sempat menuntut ilmu dan bertanya banyak hal kepada Imam Malik.

*) Dari berbagai sumber
Biografi Imam Abu Hanifah: Pendiri Mazhab Hanafiyah

Biografi Imam Abu Hanifah: Pendiri Mazhab Hanafiyah

November 21, 2012 0
Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M), nama lengkap beliau adalah Nu'man bin Tsabit bin Zauthy. Beliau dilahirkan di Kufah pada tahun 80 H/699 M ketika Bani Umayyah mengalami masa kejayaannya. Imam mazhab yang dikenal sebagai saudagar pakaian di Kufah ini hidup di antara dua masa, yaitu penghujung dinasti Bani Umayyah dan awal dinasti Bani Abbasiyah.

Beliau sempat bertemu dengan Imam Anas bin Malik dan meriwayatkan haditsnya. Beliau sangat ketat dalam penerimaan hadits. Beliau tidak mudah menerima hadits tanpa disertai dengan sikap kritis.

Dasar atau pokok pegangan mazhab yang dibangunnya adalah al-Quran, hadits, ijma', qiyas, dan istihsan. Al-Quran baginya adalah dasar hukum pertama dalam menetapkan hukum. Jika tidak dijumpai di dalam al-Quran maka dasar hukum diambil dari sunah. Jika tidak dijumpai di dalam sunah maka diambil dari ijma', yakni kesepakatan sahabat tentang pemaknaan atas al-Quran dan sunah. Jika di dalam ijma' tidak dijumpai ketetapan hukum atas suatu perkara maka digunakanlah qiyas. Apabila ketetapan suatu hukum tidak dijumpai di dalam al-Quran, sunah, ijma', dan qiyas maka digunakanlah istihsan.
Biografi Imam Abu Hanifah: Pendiri Mazhab Hanafiyah
Di antara karya Imam Abu Hanifah dalam bidang fiqih adalah al-Fiqih al-Akbar, yang berisi pengetahuan tentang Allah swt. Kitab fiqih Imam Hanafi peringkat pertama dalam membahas masalah ushul yang disebut Zahir al-Riwayah, yang membicarakan masalah hukum yang diriwayatkan dari sahabat mazhab ini, yaitu Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad.

*) Dari berbagai sumber
Biografi Imam Muslim: Ahli Hadits Terkemuka

Biografi Imam Muslim: Ahli Hadits Terkemuka

November 19, 2012 0
Nama asli Imam Muslim adalah Abu al-Husein bin Habaj al-Naisabury. Ia lahir di Nisapur pada tahun 817 M. Dalam upaya mengumpulkan hadits-hadits, Imam Muslim pergi melakukan perjalanan ilmiah atau rihlah ilmiah ke Irak, Hijaz, Syam, Mesir, dan berkali-kali ke Baghdad. Ketika Imam Bukhari datang ke Nisapur, Imam Muslim datang kepadanya dan menerima serta belajar hadits darinya.

Dalam mempelajari ilmu hadits, Imam Muslim juga belajar dengan ulama hadits lain selain Imam Bukhari. Mereka itu antara lain adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin Qarir, Qutaybah bin Said, Abdullah bin Maslama, dan lain-lain.

Seperti halnya Imam Bukhari, Imam Muslim juga memiliki kitab hadits hasil karyanya sendiri, yaitu Kitab al-Jami' Shahih Muslim. Kitab ini memiliki kualitas yang sama dengan kitab karya Imam Bukhari. Bedanya, jika di dalam Kitab al-Jami' Shahih al-Bukhari, penyusunan bab-babnya didasari atas permasalahan yang ada dan juga dibuat penafsiran hukumnya. Sementara dalam karya Imam Muslim, karyanya disusun berdasarkan subjek-subjek dan membuat kompilasi hadits-hadits sahih, tanpa ada penafsiran hukum.
Biografi Imam Muslim: Ahli Hadits Terkemuka
Imam Muslim wafat pada tahun 870 M dalam usia 53 tahun.

*) Dari berbagai sumber
Biografi Imam Bukhari: Amirul Mukminin fil Hadits

Biografi Imam Bukhari: Amirul Mukminin fil Hadits

November 16, 2012 0
Nama asli Imam Bukhari adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Mughirah bin Mardizah al-Bukhari. Ia lahir di kota Bukhara pada tahun 194 H. Bukhara merupakan salah satu kota yang terkenal dan pernah menjadi pusat peradaban Islam di Asia Tengah. Ketertarikannya pada ilmu hadits, karena sejak masa kanak-kanak ia sudah belajar hadits dari ayahnya. Ayahnya adalah seorang ahli hadits yang memiliki hubungan baik dengan Imam Malik, Muhammad bin Zaid, dan Abdullah bin Mubarak. Mereka ini adalah para tokoh ahli hadits yang terkenal dan berpengaruh di kalangan ulama hadits ketika itu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau sejak kanak-kanak ia telah mampu menghafal sekitar 70.000 hadits, bahkan ia mengetahui sebagian besar tanggal lahir, wafat dan tempat tinggal para perawi hadits-hadits tersebut.

Kemudian pada umur 17 tahun, Imam Bukhari sudah hafal dua kitab hadits karangan Ibnu Mubarak dan al-Waqi'. Kemampuannya menghafal ribuan hadits, menunjukkan bahwa Imam Bukhari memiliki kecerdasan yang luar biasa. Hal itu dapat dilihat dari kemampuannya melakukan kritikan terhadap sanad, matan, dan rawi hadits.

Di dalam usahanya mengumpulkan hadits-hadits, Imam Bukhari melakukan perjalanan ilmiah atau rihlah ilmiah mulai dari Balkh, Naisabur, Rai Baghdad, Basrah, Kuffah, Mekkah, Madinah, Mesir, Damaskus, Hims, dan Qaisariyah. Dalam perjalanannya menimba ilmu pengetahuan, ia sempat tinggal dan menetap di kota Mekkah selama lebih kurang dua tahun. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya ke Madinah dan belajar ilmu hadits dari para ahli hadits terkenal di Madinah. Di antara guru hadits yang sempat didatanginya adalah Ishak bin Rahwi dan Ali al-Mada'ini. Perjalanan ini memerlukan waktu lebih kurang selama 16 tahun.
Biografi Imam Bukhari: Amirul Mukminin fil Hadits
Dari hasil pengembaraan ilmiahnya ini, Imam Bukhari menghasilkan sebuah karya dalam bidang ilmu hadits yang sangat monumental, yaitu kitab al-Jami' al-Shahih al-Bukhari. Kitab ini menjadi bahan rujukan bagi siapa saja yang ingin mempelajari ilmu hadits dan ingin melakukan kritikan atau takhrij hadits-hadits Rasulullah saw. Setelah ia berhasil melakukan kajian dan pengembaraan ilmiah dengan hasil karya yang monumental, akhirnya pada tahun 256 H dalam usia 62 tahun Imam Bukhari meninggal dunia.

*) Dari berbagai sumber
Biografi Mohammad Natsir: Kiai Perdana Menteri

Biografi Mohammad Natsir: Kiai Perdana Menteri

Oktober 22, 2012 0
Mohammad Natsir adalah perdana menteri Indonesia pada masa pemerintahan parlementer. Ia juga dikenal sebagai seorang kiai kharismatik pada masanya. Natsir adalah seorang pemimpin Masyumi dan salah seorang tokoh politik dan tokoh Islam di Indonesia.

Mohammad Natsir lahir di kota Alahan Panjang, Sumatera Barat, pada 17 Juli 1908. Ketika kecil, ia belajar di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Adabiyah di Padang. Kemudian ia dipindahkan oleh kedua orang tuanya ke HIS pemerintah di Solok dan di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Saat belajar di HIS Solok, Natsir tinggal di rumah Haji Musa, seorang saudagar. Di sana, ia menerima cukup banyak ilmu. Pagi hari, ia belajar di HIS sementara pada malam hari ia belajar al-Quran.

Pada 1923 - 1927, Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang. Saat sekolah di kota ini, ia menjadi anggota Jong Islamieten Bond (JIB) Padang. Ia pun bersentuhan langsung dengan gerakan perjuangan. Pada 1927, ia melanjutkan pendidikan ke Algemene Middelbare School (AMS) Bandung hingga tamat pada 1930. Di kota Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional, seperti Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, dan Sutan Syahrir. Pada 1932, Natsir berguru kepada Ahmad Hasan, yang kelak menjadi tokoh dan ketua organisasi Persis (Persatuan Islam).

Natsir lulus dari AMS dengan prestasi gemilang. Ia ditawari oleh pemerintah Belanda untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Jakarta, Fakultas Ekonomi Rotterdam, Belanda, atau menjadi pegawai pemerintah. Namun, ia menolak semua tawaran itu. Ia malah memilih untuk aktif dalam politik dan dakwah Islam. Karena kejujurannya, pada masa kemerdekaan ia dipercaya menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan RI. Sejak 5 September 1950, Natsir diangkat sebagai Perdana Menteri RI menggantikan Abdul Halim. Kemudian pada 26 April 1951 ia digantikan oleh Sukirman Wirjosandjojo.
Biografi Mohammad Natsir: Kiai Perdana Menteri
Ketika menjabat sebagai Perdana Menteri RI, ia selalu berpenampilan sederhana, lengkap dengan peci hitam dan sorban putih yang dililitkan di lehernya. Bahkan saat itu ia menolak fasilitas kendaraan dinas dari negara. Ia hanya mau menerima sepeda sebagai kendaraan dinasnya. Bahkan ketika berhenti menjadi Perdana Menteri, ia mengembalikannya kepada pemerintah. Menurutnya, sepeda itu milik negara, milik bangsa Indonesia.

Pada masa tuanya, Mohammad Natsir aktif di berbagai organisasi Islam internasional, seperti World Moslem Congress (Kongres Muslim Sedunia) sebagai Wakil Presiden pada 1967 yang berpusat di Karachi, Pakistan. Kemudian pada 1969, ia menjadi anggota World Moslem League (Liga Muslim Sedunia) yang sekarang dikenal dengan Rabithah Al-Alam Al-Islami dan berpusat di Mekkah, Saudi Arabia. Pada 1976, ia menjadi anggota Al-Majlis Al-A'la Al-'Alami li Al-Masajid (Dewan Masjid Sedunia) yang juga berpusat di Mekkah, Saudi Arabia.

Sementara di Indonesia, sejak 1967 sampai akhir hayatnya, Mohammad Natsir dipercaya menjadi Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang berpusat di Jakarta. Beliau wafat di Jakarta pada 6 Februari 1993.

*) Dari berbagai sumber
Biografi Imam Ghazali: Ahli Tasawuf Islam

Biografi Imam Ghazali: Ahli Tasawuf Islam

Oktober 18, 2012 0
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali dilahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool, yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara. Ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan pendidikannya setuntas-tuntasnya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah al-Ghazali. Kedua anak itu dididik dan disekolahkan, setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.

Imam Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak yang cinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara. Dan di masa kanak-kanak, Imam Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhammad ar-Radzikani di Thus kemudian belajar kepada Abi Nashr al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya kembali ke Thus lagi. Sesudah itu Imam Ghazali pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu al-Juwaini, Imam al-Harmain (w. 478 H atau 1085 M). Dari beliau inilah Imam Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul, dan ilmu pengetahuan agama lainnya.

Imam Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga Imam al-Juwaini sempat memberi predikat beliau itu sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan "laut dalam nan menenggelamkan (bahrun mughriq)". Ketika gurunya meninggal dunia, al-Ghazali meninggalkan Nisabur menuju ke istana Nidzam al-Mulk yang menjadi seorang perdana menteri Sultan Bani Seljuk. Karena kehebatan ilmunya, akhirnya pada tahun 484 atau 1091 Nidzam al-Mulk mengangkat Imam Ghazali sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Baghdad.
Biografi Imam Ghazali: Ahli Tasawuf Islam
Di tengah-tengah kesibukannya mengajar di Baghdad, beliau masih sempat mengarang sejumlah kitab seperti Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, Khulashah Ilmu Fiqh, Al-Munqil fi Ilm al-Jadal (Ilmu Berdebat), Ma'khadz al-Khalaf, Lubab al-Nadzar, Tashin al-Ma'akhidz, dan Al-Mabadi' wa al-Ghayat fi Fann al-Khalaf. Begitu juga di tengah-tengah kesibukan ini, beliau juga belajar berbagai ilmu pengetahuan dan filsafat klasik seperti filsafat Yunani, sebagaimana beliau juga mempelajari berbagai aliran agama yang beraneka ragam yang terkenal di waktu itu. Beliau mendalami berbagai bidang studi ini dengan harapan agar dapat menolongnya mencapai ilmu pengetahuan sejati yang sangat didambakan.

Setelah empat tahun, beliau memutuskan untuk berhenti mengajar di Baghdad. Lalu ditinggalkannya kota tersebut untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu beliau menuju Syam, hidup dalam Jami' Umawy dengan kehidupan serba penuh ibadah, dilanjutkan pengembaraan ke berbagai padang pasir untuk melatih diri menjauhi barang-barang terlarang (haram), meninggalkan kesejahteraan dan kemewahan hidup, mendalami masalah keruhanian dan penghayatan agama.

Kemudian pada suatu waktu, beliau pulang ke Baghdad kembali mengajar di sana. Hanya saja beliau menjadi guru besar dalam bidang studi lain tidak seperti dahulu lagi. Setelah menjadi guru besar dalam berbagai ilmu pengetahuan agama, sekarang tugas beliau menjadi imam ahli agama dan tasawuf serta penasehat spesialis dalam bidang agama. Kitab pertama yang beliau karang setelah kembali ke Baghdad ialah kitab Al-Munqidz min al-Dholal (Penyelamat dari Kesesatan). Kitab ini dianggap sebagai salah satu buku referensi yang paling penting bagi sejarawan yang ingin mendapatkan pengetahuan tentang kehidupan Imam Ghazali. Kitab ini mengandung keterangan sejarah hidupnya di waktu transisi yang mengubah pandangannya tentang nilai-nilai kehidupan. Dalam kitab ini juga, beliau menjelaskan bagaimana iman dalam jiwa itu tumbuh dan berkembang, bagaimana hakikat ketuhanan itu dapat tersingkap atau terbuka bagi umat manusia, bagaimana mencapai pengetahuan sejati (ilmu yaqin) dengan cara tanpa berpikir dan logika namun dengan cara ilham dan mukasyafah (terbuka hijab) menurut ajaran tasawuf.

Sekembalinya Imam Ghazali ke Baghdad sekitar sepuluh tahun, beliau pindah ke Naisaburi dan sibuk mengajar di sana dalam waktu yang tidak lama, setelah itu beliau meninggal dunia di kota Thus, kota kelahirannya, pada tahun 505 H atau 1111 M.

Sumber: Buku Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam
Biografi Buya Hamka: Ulama Otodidak

Biografi Buya Hamka: Ulama Otodidak

Oktober 08, 2012 0
Hamka (1908 – 1981) adalah akronim dari Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik, dan penulis Indonesia yang terkenal di nusantara. Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat. Ayahnya bernama Syekh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenal sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Belakangan, Hamka mendapat sebutan Buya, panggilan untuk orang Minang yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau hingga kelas dua. Ketika berusia 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatra Thawalib di Padang Panjang. Di sana, ia mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pelajaran agama dari ulama terkenal, seperti Syekh Ibrahim Musa, Syekh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto, dan Ki Bagus Hadikusumo.

Pada 1927, Hamka bekerja sebagai guru agama di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Lalu, pada 1929 ia menjadi guru agama di Padang Panjang. Kemudian, ia dilantik menjadi dosen Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang dari tahun 1957 – 1958. Setelah itu, ia diangkat menjadi Rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.

Sejak 1951 hingga 1960, ia diangkat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia. Namun, ia meletakkan jabatan itu. Ketika itu, Soekarno menyuruh ia untuk memilih menjadi pegawai negeri atau aktif dalam Masyumi.

Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai ilmu pengetahuan, baik dari sisi Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia mampu meneliti karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah, Misalnya, Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Husain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris, dan Jerman. Misalnya, Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. Ia juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta. Misalnya, HOS. Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui oraganisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendidikan Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid’ah, tarekat, dan kebatinan sesat di Padang Panjang.
Biografi Buya Hamka: Ulama Otodidak
Tahun 1928, ia menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah. Dua tahun kemudian, ia menjadi konsultan Muhammadiyah di Makassar. Kemudian, ia juga terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah. Ia menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada 1946.

Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi Ketua Barisan Pertahanan Nasional Indonesia. Pada 1953, Hamka terpilih sebagai Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Namun, pada 1981 ia meletakkan jabatan tersebut karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Dari 1964 hingga 1966, Hamka selalu dipenjarakan oleh Presiden Soekarno. Ia dituduh pro-Malaysia. Selama di penjara, ia menulis Tafsir Al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, ia diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia, dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik. Hamka juga seorang wartawan, penulis, dan editor. Sejak 1920-an, ia menjadi wartawan beberapa surat kabar, seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada 1932, ia menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makasar. Ia juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif, seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir Al-Azhar (5 jilid). Di antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa, seperti kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas Al-Azhar pada 1958, Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia pada 1974, dan gelar Datuk Indono dan Pangeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Hamka wafat pada 24 Juli 1981. Jasa dan pengaruh Hamka masih tersisa hingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan saja diterima sebagai tokoh, ulama, sastrawan di tanah kelahirannya. Jasa Hamka juga dikenal di Malaysia dan Singapura.

*) Dari berbagai sumber

Biografi K.H. Hasyim Asy’ari: Ulama Pembaharu Pesantren

September 27, 2012 0
K.H. Hasyim Asy’ari merupakan tokoh pendiri Pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan Islam di pesantren, K.H. Hasyim Asy’ari juga mengajarkan para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

K.H. Hasyim Asy’ari lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur pada 10 April 1875. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, K.H. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).

Sejak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari sebelas bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kiai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu, mendorong ia untuk belajar lebih giat. Tidak puas dengan ilmu yang diterimanya, sejak berusia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Ia mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, dan Panji (Sidoarjo). Di Pesantren Siwalan, ia belajar kepada Kiai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.

Pada 1892, Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekkah. Di sana, ia berguru kepada Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib, dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi. Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia. Ia pun mengajar di sana. Pada 1899, ia pulang ke Indonesia dan K.H. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad ke-20. Sejak 1900, K.H. Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.

Di Pesantren Tebuireng, para santri belajar membaca huruf latin, menulis, dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Namun, ia mendapat tanggapan kurang baik di masyarakat sebab dianggap bid’ah. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Ia berusaha mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat. Hal itu adalah salah satu tujuan utama perjuangannya. Pesantren Tebuireng menjadi masyhur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.
Biografi K.H. Hasyim Asy’ari: Ulama Pembaharu Pesantren
Pada 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, K.H. Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti Kebangkitan Ulama. Organisasi ini pun berkembang pesat dan merekrut banyak anggota. Pengaruh K.H. Hasyim Asy’ari pun makin besar dengan mendirikan organisasi NU bersama teman-temannya. Hal itu dibuktikan dengan dukungan dari para ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaannya. Kini, NU pun berkembang makin pesat.

Meskipun menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Hal yang paling dibencinya adalah perpecahan kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang besar asalkan ia mau bekerja sama. Namun, ia menolaknya dengan tegas.

Pada masa awal pendudukan Jepang, K.H. Hasyim Asy’ari ditangkap dengan alasan yang tidak jelas. Namun, berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan. Sesudah itu, ia diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa. Walaupun begitu, ia tetap mengasuh Pesantren Tebuireng.

Sosok K.H. Hasyim Asy’ari yang kharismatik dan berwibawa, membuat ia mendapat banyak dukungan saat memimpin Nahdlatul Ulama. K.H. Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947 dan dimakamkan di Tebuireng. Atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahi Pahlawan Kemerdekaan Indonesia kepada beliau.

*) Dari berbagai sumber
Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi: Mahaguru Ulama Indonesia

Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi: Mahaguru Ulama Indonesia

September 25, 2012 0
Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi adalah ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten pada 1813. Ia layak menempati posisi sebagai tokoh utama Kitab Kuning Indonesia karena hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri. Ulama ini bernama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi.

Sejak kecil, ia telah diarahkan oleh ayahnya, K.H. Umar bin Arabi untuk menjadi seorang ulama. Ayahnya menyerahkan Nawawi kepada K.H. Sahal, ulama terkenal di Banten. Setelah belajar bersama K.H. Sahal, Nawawi belajar kepada K.H. Yusuf, seorang ulama besar Purwakarta.

Ayah Syekh Nawawi adalah seorang pejabat penghulu. Berdasarkan silsilahnya, ayah Syekh Nawawi merupakan keturunan kesultanan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyararas (Tajul ‘Arsy).

Ketika berusia 15 tahun, Nawawi pergi ke Mekkah bersama dua orang saudaranya untuk menunaikan ibadah haji. Akan tetapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung pulang ke Indonesia. Nawawi tetap tinggal di Mekkah. Ia memperdalam agama Islam kepada para ulama besar kelahiran Indonesia, seperti Imam Masjid Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani.

Tiga tahun lamanya Nawawi menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah itu, ia pun kembali ke Indonesia. Lalu, ia mengajar di pesantren ayahnya. Namun di tanah air, ia tidak dapat mengembangkan ilmunya karena saat itu negara Indonesia memang sedang dijajah Belanda. Akhirnya, Nawawi kembali ke Mekkah dan tinggal di daerah Syi’ab ‘Ali.

Nawawi memiliki kecerdasan dan ketekunan yang luar biasa. Hal tersebut menjadikan Nawawi sebagai murid terpandang di Masjidil Haram. Ia akhirnya menjadi Imam Masjidil Haram untuk menggantikan Syekh Ahmad Khatib Sambas yang telah berusia lanjut. Nawawi mendapat panggilan Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi.

Ia juga menjadi guru bagi siswa-siswa yang datang dari berbagai belahan dunia. Murid-murid Nawawi yang berasal dari Indonesia adalah K.H. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tubagus Bakri, K.H. Arsyad Thawil dari Banten, dan K.H. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Mereka inilah yang kemudian menjadi ulama-ulama terkenal di Indonesia.

Syekh Nawawi juga giat menulis buku. Ia termasuk penulis yang banyak melahirkan karya. Ia banyak menulis kitab tentang persoalan agama. Paling tidak, 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf. Beberapa kalangan bahkan menyebutkan bahwa Nawawi telah menulis lebih dari 100 judul buku dari berbagai disiplin ilmu. Sebagian karya Syekh Nawawi diterbitkan di Timur Tengah. Dengan karya-karyanya ini, ia ditempatkan sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga kini. Selanjutnya, kitab-kitabnya itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan di Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga di Timur Tengah.

Nawawi pun dijuluki Imam Nawawi kedua. Nawawi pertama adalah yang menulis Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syahrul Muhadzdzab, Riyadhush Shalihin, dan lain-lain. Ia tetap dipanggil Syekh Nawawi (al-Bantani) bukan Imam Nawawi (ad-Dimasyqi).

Nama Syekh Nawawi pun termasuk salah satu ulama besar abad ke-14 H/19 M. Tentu ini berkat karya Nawawi yang tersebar luas dan ditulis dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Berkat kemasyhurannya pula, ia mendapat gelar A’yan ‘Ulama al-Qarn ar-Ram ‘Asyar Li al-Hijrah, al-Imam al-Mullaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.
Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi: Mahaguru Ulama Indonesia
Karya Nawawi pun banyak masuk di Indonesia. Hal ini tentu berdampak pada perkembangan wacana keislaman di pesantren. Sejak 1888, kurikulum pesantren mulai ada perubahan mencolok. Jika sebelumnya tidak ditemukan sumber referensi di bidang tafsir, ushul fiqh, dan hadits, sejak saat itu bidang keilmuan tersebut mulai dikaji. Perubahan ini juga tidak terlepas dari jasa tiga ulama Indonesia, yaitu Syekh Nawawi, Syekh Ahmad Khatib, dan Kiai Mahfuz Termas.

Karya-karya Nawawi memang sangat berpengaruh bagi pendidikan pesantren. Sampai tahun 1990, diperkirakan terdapat 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipergunakan di pesantren. Selain itu, 11 karya populer sering digunakan sebagai kajian di pesantren-pesantren.

Penyebaran karya Nawawi di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara pun makin memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi. Perlu diketahui, penyebaran karya Nawawi tersebut tidak terlepas dari jasa K.H. Hasyim Asy’ari, salah seorang murid Nawawi yang berasal dari Jombang. K.H. Hasyim Asy’ari-lah yang memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa.

Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib ‘Ali, sebuah kawasan di pinggiran Mekkah, pada 25 Syawal 1314 H/1879 M. Ia dimakamkan di Ma’la, Arab Saudi, dekat makam Khadijah binti Khuwailid. Beberapa tahun setelah wafat, pemerintah Kerajaan Saudi berniat memindahkan makam beliau, namun para petugas berwenang segera mengurungkan niatnya. Hal ini karena jenazah Syekh Nawawi al-Bantani dan kain kafannya terlihat masih utuh. Jika pergi ke Mekkah, kita masih bisa berziarah ke makam beliau, di pemakaman umum Ma’la.

*) Dari berbagai sumber