Pada tahun 1633, saat VOC bertindak sewenang-wenang pada orang-orang Banten yang berlayar dan berdagang di Kepulauan Maluku, maka pecah lagi peperangan antara Banten dan VOC. Orang-orang Banten adalah penganut Islam fanatik, sedang orang-orang Belanda adalah penganut Kristen. Orang-orang Banten yang fanatik menganggap orang-orang Belanda adalah kelompok kafir yang akan merusak kehidupan agama mereka. Hubungan antara Kerajaan Banten dan VOC lebih gawat lagi saat kerajaan itu diperintah oleh Sultan Abdulfatah. Abdulfatah yang dikenal gelarnya Sultan Ageng Tirtayasa (1650-1682). Hal ini dibuktikan dengan peperangan-peperangan yang dilakukannya melawan VOC atau Kompeni Belanda, baik di darat atau di laut. Di daerah-daerah perbatasan antara Batavia dan Kerajaan Banten seperti di daerah Angke, Pesing dan Tangerang sering terjadi pertempuran-pertempuran yang membawa korban kedua belah pihak.
Untuk melawan Banten, VOC membentuk pasukan-pasukan bayaran yang terdiri atas pelbagai suku bangsa seperti: Suku Bugis, Suku Bali, Suku Banda dan lain-lainnya. Selain itu VOC juga terdiri atas pelbagai suku bangsa Indonesia yang bermukim dan bertempat tinggal di Jakarta, termasuk orang-orang Cina, orang-orang Jepang serta keturunan orang-orang Portugis yang sudah menjadi kawula atau pegawai-pegawai VOC. Orang-orang Belanda sendiri yang tidak seberapa jumlahnya, karenanya selalu berada di garis belakang, namun dengan persenjataan lengkap bahkan mempergunakan senjata meriam.
VOC juga mendirikan dan memperkuat perbentengan-perbentengan mereka di perbatasan Kerajaan Banten, seperti di daerah Angke, Pesing dan lain-lainnya, Tahun 1658, dipimpin Raden Senopati Ingalaga dan Haji Wangsaraja menyerang Batavia di daerah Angke dan Tangerang. Kedatangan tentara Banten itu sudah diketahui VOC melalui mata-mata dan kaki tangan mereka. VOC menyiapkan pasukan-pasukannya dan segera menyongsong tentara Banten itu. Dan terjadilah pertempuran seru. Dengan kapal-kapalnya dan persenjataan meriam-meriamnya yang besar VOC mengurung serta menutup pelabuhan Banten, yang mengakibatkan terhentinya perdagangan Kerajaan Banten. Dengan cara yang demikian VOC banyak menimbulkan kerugian lawan, sebab hidup kerajaan itu sebagian besar tergantung kepada perdagangan. Belanda yang licik berusaha memecah belah dan mengadu domba orang-orang Banten, yang berhasil mengadu domba Sultan Ageng Tirtayasa dan puteranya, Sultan Haji. Akhimya ayah dan anak itu bermusuhan dan berperang. Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC, sedang Sultan Haji berpihak pada VOC.
Pada bulan Pebruari 1682 pecah perang antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji. Tanggal 6 Maret 1682 VOC mengirimkan pertolongan di bawah pimpinan Saint Martin. Sultan Ageng Tirtayasa dipukul mundur dan bertahan di Tirtayasa. Januari 1683 Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Purbaya serta sejumlah pasukan Banten berada di Parijan, Tangerang. Mereka tetap melanjutkan perjuangan melawan VOC. Kemudian Sultan Haji mengirim surat kepada ayahnya agar datang ke Istana, yang curiga memenuhi undangan puteranya. Tanggal 14 Maret 1683 Sultan Ageng tiba di Istana dan diterima dengan baik, tetapi lalu ditangkap dan dibawa ke Batavia. Tahun 1695 Sultan Ageng Tirtayasa wafat. Setelah Sultan Ageng wafat, sisa-sisa tentara Banten tetap mengadakan perlawanan.
Setelah Kesultanan Banten dihapus oleh Belanda, perjuangan melawan penjajah dilanjutkan oleh rakyat Banten yang dipimpin oleh ulama dengan menggelorakan semangat perang sabil. Keadaan ini berlangsung sampai Negara Republik Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya. Hal ini terlihat di bermacam-macam pemberontakan yang dipimpin oleh kiai dan didukung oleh rakyat, antara lain peristiwa "Geger Cilegon" pada tahun 1886 di bawah pimpinan KH Wasyid (w. 28 Juli 1888) dan "Pemberontakan Petani Banten" pada tahun 1888.
Sumber : jakarta.go.id