1. Mitos Wahyu Keprabon
Hadirnya sebuah mitos, yang mengiringi hadir dan berkembangnya sebuah kerajaan adalah wajar. Sebab, mitos adalah penjaga kepercayaan rakyat, sehingga dengan mitos itu, rakyat tetap percaya bahwa raja adalah utusan dan anak dewa yang berhak memimpinnya hingga akhir hayat. Walaupun mestinya mitos itu harusnya makin hilang, seiring dengan tumbuh kembangnya ajaran Islam di kerajaan Mataram Islam.
Dinasti Mataram Islam sesungguhnya berawal dari keluarga petani, begitulah yang tertulis pada Babad Tanah Jawi. Kisahnya berlangsung di pinggiran Kali Opak, di Yogyakarta sekarang. Suatu hari, adalah seorang petani bernama Ki Ageng Giring. Sementara dia mencangkul di ladang, tiba-tiba ada kelapa muda jatuh lalu terdengar suara; “barangsiapa minum air kelapa muda ini, dia dan keturunannya bakal berkuasa di Tanah Jawa”. Konon “wahyu keprabon” yang ada dalam kelapa muda itu adalah sabda wali terkenal di Jawa, Sunan Kalijaga. Ki Ageng Giring lalu membawa pulang cengkir (kelapa muda) yang masih hijau segar itu. Namun dia tak bisa segera meminumnya, sebab pada saat itu dia sedang tirakat berpuasa, hingga lalu ia pergi membersihkan diri di sungai. Tak lama lalu datang sahabatnya, Ki Gede Pemanahan bertamu. Melihat kelapa muda tergeletak, tamu yang haus itupun segera meminumnya. Pada tetes terakhir Ki Ageng Giring muncul. Dia melihat air kelapa muda itu sudah terminum oleh orang lain. Dia sangat menyesal dan kecewa. Tapi apa daya, dia hanya bisa meminta, agar sewaktu-waktu kelak, sesudah keturunan Gede Pemanahan yang ketujuh, keturunannya lah yang akan menggantikan menguasai Jawa”.
2. Hadiah Sultan Hadiwijaya dari Kerajaan Pajang
Banyak versi tentang masa awal berdirinya kerajaan Mataram berdasar mitos dan legenda. Pada biasanya versi-versi itu mengaitkannya dengan kerajaan-kerajaan terdahulu, seperti Demak dan Pajang. Menurut salah satu versi, setelah Demak mengalami kemunduran, ibukotanya dipindahkan ke Pajang dan mulailah pemerintahan Pajang sebagai kerajaan. Kerajaan ini terus mengadakan ekspansi ke Jawa Timur dan juga terlibat konflik keluarga dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang Panolan. Setelah berhasil menaklukkan Aryo Penangsang, Sultan Hadiwijaya (1550-1582), raja Pajang memberikan hadiah kepada 2 orang yang dianggap berjasa dalam penaklukan itu, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Ki Ageng Pemanahan mendapat tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi mendapat tanah di Pati.
Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang sebagai atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada tahun 1575 dia digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya lalu berhasil memberontak pada Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang lalu dijadikan salah satu wilayah bagian daari Mataram yang beribukota di Kotagede.
Selama pemerintahannya boleh dikatakan terus-menerus berperang menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan Demak menyerah, Panaraga, Pasuruan, Kediri, Surabaya, berturut-turut direbut. Cirebon pun berada di bawah pengaruhnya. Panembahan Senapati dalam babad dipuji sebagai pembangun Mataram.