1. Teori Evolusi ( Evolution Theory )
Teori ini pada dasarnya berpijak pada perubahan yang memerlukan proses yang cukup panjang. Dalam proses itu, terdapat beberapa tahapan yang wajib dilalui untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Adamacam -macam teori mengenai evolusi. Teori itu digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu unilinear theories of evolution, universal theories of evolution, dan multilined theories of evolution.
a. Unilinear Theories of Evolution
Teori ini berpendapat bahwa manusia dan masyarakat termasuk kebudayaannya akan mengalami perkembangan sesuai dengan tahapan-tahapan tertentu dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks dan akhirnya sempurna. Pelopor teori ini antara lain Auguste Comte dan Herbert Spencer.
Auguste Comte |
Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Kebudayaan manusia sudah mengikuti suatu garis evolusi tertentu. Menurut Herbert Spencer, prinsip teori ini adalah bahwa masyarakat adalah hasil perkembangan dari kelompok homogen menjadi kelompok yang heterogen.
c. Multilined Theories of Evolution
Teori ini lebih menekankan pada penelitian pada tahaptahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya mengadakan penelitian mengenai perubahan sistem mata pencaharian dari sistem berburu ke sistem pertanian menetap dengan menggunakan pemupukan dan pengairan. Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, ada beberapa kelemahan dari Teori Evolusi yang perlu memperoleh perhatian, di antaranya adalah sebagai berikut.
- Data yang menunjang penentuan tahapan-tahapan dalam masyarakat menjadi sebuah rangkaian tahapan seringkali tidak cermat.
- Urut-urutan dalam tahap-tahap perkembangan tidak sepenuhnya tegas, sebab ada beberapa kelompok masyarakat yang mampu melampaui tahapan tertentu dan langsung menuju pada tahap selanjutnya, dengan kata lain melompati suatu tahapan. Sebaliknya, ada kelompok masyarakat yang justru berjalan mundur, tidak maju seperti yang diinginkan oleh teori ini.
- Pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial akan berakhir pada puncaknya, saat masyarakat sudah mencapai kesejahteraan dalam arti yang seluas-luasnya. Pandangan seperti ini perlu ditinjau ulang, sebab apabila perubahan memang adalah sesuatu yang konstan, ini berarti bahwa setiap urutan tahapan perubahan akan mencapai titik akhir.
- Padahal perubahan adalah sesuatu yang bersifat terusmenerus sepanjang manusia melaksanakan interaksi dan sosialisasi.
2. Teori Konflik ( Conflict Theory )
Menurut pandangan teori ini, pertentangan atau konflik bermula dari pertikaian kelas antara kelompok yang menguasai modal atau pemerintahan dengan kelompok yang tertindas secara materiil, sehingga akan mengarah pada perubahan sosial. Teori ini mempunyai prinsip bahwa konflik sosial dan perubahan sosial selalu melekat pada struktur masyarakat.
Teori ini menilai bahwa sesuatu yang konstan atau tetap adalah konflik sosial, bukan perubahan sosial. Karena perubahan hanyalah adalah akibat dari adanya konflik itu. Karena konflik berlangsung terus-menerus, maka perubahan juga akan mengikutinya. Dua tokoh yang pemikirannya menjadi pedoman dalam Teori Konflik ini adalah Karl Marx dan Ralf Dahrendorf.
Secara lebih rinci, pandangan Teori Konflik lebih menitikberatkan pada hal berikut ini.
- Setiap masyarakat terus-menerus berubah.
- Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang perubahan masyarakat.
- Setiap masyarakat biasanya berada dalam ketegangan dan konflik.
- Kestabilan sosial akan bergantung pada tekanan pada golongan yang satu oleh golongan yang lainnya.
Konsep yang berkembang dari teori ini adalah cultural lag (kesenjangan budaya). Konsep ini mendukung Teori Fungsionalis untuk menjelaskan bahwa perubahan sosial tidak lepas dari hubungan antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat. Menurut teori ini, beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan sangat cepat sementara unsur yang lainnya tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan unsur itu. Maka, yang terjadi adalah ketertinggalan unsur yang berubah secara perlahan itu. Ketertinggalan ini menyebabkan kesenjangan sosial atau cultural lag.
William Ogburn |
Para penganut Teori Fungsionalis lebih menerima perubahan sosial sebagai sesuatu yang konstan dan tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai suatu hal yang mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan ini berhenti pada saat perubahan itu sudah diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan itu ternyata bermanfaat, maka perubahan itu bersifat fungsional dan akhirnya diterima oleh masyarakat, tetapi apabila terbukti disfungsional atau tidak bermanfaat, perubahan akan ditolak. Tokoh dari teori ini adalah William Ogburn.
Secara lebih ringkas, pandangan Teori Fungsionalis adalah sebagai berikut.
- Setiap masyarakat relatif bersifat stabil.
- Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang kestabilan masyarakat.
- Setiap masyarakat biasanya relatif terintegrasi.
- Kestabilan sosial sangat bergantung pada kesepakatan bersama (konsensus) di kalangan anggota kelompok masyarakat.
4. Teori Siklis ( Cyclical Theory )
Teori ini mencoba melihat bahwa suatu perubahan sosial itu tidak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh siapapun dan oleh apapun. Karena dalam setiap masyarakat terdapat perputaran atau siklus yang wajib diikutinya. Menurut teori ini kebangkitan dan kemunduran suatu kebudayaan atau kehidupan sosial adalah hal yang wajar dan tidak dapat dihindari.
Sementara itu, beberapa bentuk Teori Siklis adalah sebagai berikut.
a. Teori Oswald Spengler (1880-1936)
Menurut teori ini, pertumbuhan manusia mengalami empat tahapan, yaitu anak-anak, remaja, dewasa, dan tua. Pentahapan itu oleh Spengler digunakan untuk menjelaskan perkembangan masyarakat, bahwa setiap peradaban besar mengalami proses kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan. Proses siklus ini memakan waktu sekitar seribu tahun.
b. Teori Pitirim A. Sorokin (1889-1968)
Sorokin berpandangan bahwa semua peradaban besar berada dalam siklus tiga sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir. Siklus tiga sistem kebudayaan ini adalah kebudayaan ideasional, idealistis, dan sensasi.
- Kebudayaan ideasional, yaitu kebudayaan yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan pada kekuatan supranatural.
- Kebudayaan idealistis, yaitu kebudayaan di mana kepercayaan pada unsur adikodrati (supranatural) dan rasionalitas yang berdasar fakta bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal.
- Kebudayaan sensasi, yaitu kebudayaan di mana sensasi adalah tolok ukur dari kenyataan dan tujuan hidup.
Toynbee menilai bahwa peradaban besar berada dalam siklus kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan, dan akhirnya kematian. Beberapa peradaban besar menurut Toynbee sudah mengalami kepunahan kecuali peradaban Barat, yang dewasa ini beralih menuju ke tahap kepunahannya.