Mataram mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Agung. Setelah Sultan Agung digantikan dengan raja-raja selanjutnya, kerajaan Mataram banyak mengalami kemunduran. Amangkurat I yang menggantikan Sultan Agung memerintah dengan dzalim. Masa pemerintahannya banyak diwarnai dengan pembunuhan. Diantaranya adalah pembunuhan yang dilakukannya pada Pangeran Pekik dari Surabaya (ayah mertua Amamngkurat I sendiri) beserta keluarga dan 60 panglima penting atas hasutan Pangeran Giri dari Gresik yang membenci Pangeran Pekik yang juga adalah pamannya.
Hal ini lah yang menjadi penyebab awal dari permusuhan Putra Mahkota (Amangkurat II) pada ayahnya. Dalam setiap konflik yang terjadi, yang tampil sebagai lawan adalah mereka yang didukung oleh para ulama yang bertolak dari keprihatinan agama. Karena merasa khawatir dengan kedudukannya, dia bahkan membunuh sekitar 5000-6000 ulama yang dicurigai beserta keluarganya. Begitu pula dengan raja selanjutnya. Amangkurat II yang juga pada tahun 1659 memperoleh nama Pangeran Anom dan dua tahun lalu menjadi Pangeran Adipati. Amangkurat II mempunyai perangai buruk berkaitan dengan berahinya seperti kebiasaannya keluar setiap setiap malam untuk memperkosa wanita dan gadis muda. Hal ini membuat para pembesar dan rakyat kecil membencinya. Mereka pantang memiliki istri yang cantik sebab selama lima atau enam tahun istri mereka diminta dan digauli baru setelah itu dikembalikan kepada suaminya. Suatu sumber menyebutkan bahwa Adipati Anom berkomplot dengan Pangeran Purbaya untuk menyingkirkan Sunan Amangkurat I selagi dia masih memimpin. Pada tahun 1677 M terjadilah Perang Trunajaya yang memperoleh dukungan dari kaum ulama, bangsawan, bahkan Putra Mahkota sendiri. Hingga ibukota Plered jatuh (28 Juni 1677) dan melarikan diri untuk mencari pertolongan VOC. Saat dalam pelarian, Amangkurat I sakit, dan lalu wafat pada tanggal 13 Juli 1677 M di Tegalarum. Setelah Amangkurat I wafat, lalu digantikan oleh Amangkurat II (Adipati Anom) bertahta dari tahun 1677-1703. Dia sangat tunduk kepada VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan pertolongan VOC dan sebagai kompensasinya VOC menghendaki perjanjian yang berisi: Mataram wajib menggadaikan pelabuhan Semarang dan Mataram wajib mengganti kerugian akibat perang. Oleh sebab keraton Kerta sudah rusak, dia memindahkan kratonnya ke Kertasura (1681 M). Kraton dilindungi oleh benteng tentara VOC. Pada masa ini Amangkurat II berhasil menyelesaikan persoalan Pangeran Puger (adik Amangkurat II). Namun sebab tuntutan VOC padanya untuk membayar ganti rugi biaya perang dalam perang Trunajaya, Mataram lantas mengalami kesulitan keuangan. Dalam kesulitan itu dia berusaha ingkar kepada VOC dengan cara mendukung Surapati yang menjadi musuh dan buron VOC.
Hubungan Amangkurat II dan VOC menjadi tegang dan semakin memuncak. Setelah Amangkurat II mangkat dan digantikan oleh putranya, Amangkurat III. Dia juga menentang VOC, maka VOC tidak setuju dengan penobataanya dan lantas secara sepihak mengakui Pangeran Puger sebagai raja Mataram dengan gelar Paku Buwana I. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perang saudara yang dikenal dengan sebutan Perang Perebutan Mahkota I (1704-1708). Akhirnya Amangkurat III menyerah dan dibuang ke Sailan ooleh VOC. Sementara Pakubuwana I wajib membayar ongkos perang dengan menyerahkan Priangan, Cirebon, dan Madura bagian Timur kepada VOC.
Setelah Paku Buwana I meninggal pada tahun 1719. Dia digantikan oleh putranya Sunan Prabu atau Amangkurat IV (1719-1727). Dalam masa pemerintahannya terjadi Perang Perebutan Mahkota II (1917-1723), seperti biasa VOC turut andil dalam konflik ini. Sunan Prabu meninggal pada tahun 1727 dan diganti oleh Paku Buana II (1727-1749). Hubungan manis VOC dan Paku Buwana II menyebabkan rasa tidak suka golongan bangsawan yang merasa terancam akan peranannya dalam ekonomi. Hal ini menimbulkan pemberontakan Geger Patjina yang dipimpin oleh Raden Mas Said. Untuk menyelesaikan pemberontakan ini Paku Buwana II mengutus adiknya, Pangeran Mangkubumi dengan menjanjikan hadiah tanah di Sukowati (Sragen sekarang). Ketika Mangkubumi berhasil, Paku Buwana II justru mengingkarinya, sehingga Mangkubumi berdamai dengan Raden Mas Said dan berbalik melaksanakan pemberontakan yang disebut sebagai Perang Perebutan Mahkota III (1714-1755). Paku Buwana II dan VOC tidak mampu menghadapi 2 bangsawan yang didukung oleh rakyat itu, hingga akhirnya Paku Buwana II jatuh sakit dan wafat pada 1749 M. Namun menurut pengakuan Hogendorf, wakil VOC Semarang saat sakaratul maut Paku Buwana II menyerahkan tahtanya kepada VOC. Akhirnya VOC merasa berdaulat penuh atas Mataram dan mengangkat putra mahkota menjadi Paku Buwana III. Pengangkatan ini tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Justru saat itu terjadi perpecahan antara Mangkubumi dengan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada diatas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia untuk mengajak Mangkubumi berunding.
Ajakan itu diterima oleh Mangkubumi dan terjadilah apa yang disebut sebagai Palihan nagari atau Perjanjian Giyanti (1755). Isi perjanjian itu mataram dinagi menjadi 2 bagian. Bagian Barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono I yang mendirikan kraton di Yogyakarta (Kasultanan Yogyakarta). Sedangkan bagian timur, diberikan kepada Sri Susuhunan Paku Buwana III (Kasunanan Surakarata).
Kemudian pada tahun 1757, lewat Perjanjian Salatiga, Sunan PB III pun menyerahkan wilayah Karanganyar dan Wonogiri kepada sepupunya, Raden Mas Said, yang memimpin pemberontakan Geger Patjina saat Mataram diperintah oleh PB II. Raden Mas Said lalu menyatakan diri sebagai Mangkunegoro I, dan memimpin Puro Mangkunegaran sampai 1795. Hingga masa sekarang kita mengenal Kerajaan Mataram dalam wujud pemerintahan swa-praja, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Puro Mangkunegaran dan Puro Pakualaman. Puro Mangkunegara letaknya di kota Solo. Sementara Puro Pakualaman letaknya di wilayah Pajang, Bagelan sebelah barat Jogja dan letaknya di antara sungai Progo dan Bogowonto, di daerah Adikarto.
Hal ini lah yang menjadi penyebab awal dari permusuhan Putra Mahkota (Amangkurat II) pada ayahnya. Dalam setiap konflik yang terjadi, yang tampil sebagai lawan adalah mereka yang didukung oleh para ulama yang bertolak dari keprihatinan agama. Karena merasa khawatir dengan kedudukannya, dia bahkan membunuh sekitar 5000-6000 ulama yang dicurigai beserta keluarganya. Begitu pula dengan raja selanjutnya. Amangkurat II yang juga pada tahun 1659 memperoleh nama Pangeran Anom dan dua tahun lalu menjadi Pangeran Adipati. Amangkurat II mempunyai perangai buruk berkaitan dengan berahinya seperti kebiasaannya keluar setiap setiap malam untuk memperkosa wanita dan gadis muda. Hal ini membuat para pembesar dan rakyat kecil membencinya. Mereka pantang memiliki istri yang cantik sebab selama lima atau enam tahun istri mereka diminta dan digauli baru setelah itu dikembalikan kepada suaminya. Suatu sumber menyebutkan bahwa Adipati Anom berkomplot dengan Pangeran Purbaya untuk menyingkirkan Sunan Amangkurat I selagi dia masih memimpin. Pada tahun 1677 M terjadilah Perang Trunajaya yang memperoleh dukungan dari kaum ulama, bangsawan, bahkan Putra Mahkota sendiri. Hingga ibukota Plered jatuh (28 Juni 1677) dan melarikan diri untuk mencari pertolongan VOC. Saat dalam pelarian, Amangkurat I sakit, dan lalu wafat pada tanggal 13 Juli 1677 M di Tegalarum. Setelah Amangkurat I wafat, lalu digantikan oleh Amangkurat II (Adipati Anom) bertahta dari tahun 1677-1703. Dia sangat tunduk kepada VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan pertolongan VOC dan sebagai kompensasinya VOC menghendaki perjanjian yang berisi: Mataram wajib menggadaikan pelabuhan Semarang dan Mataram wajib mengganti kerugian akibat perang. Oleh sebab keraton Kerta sudah rusak, dia memindahkan kratonnya ke Kertasura (1681 M). Kraton dilindungi oleh benteng tentara VOC. Pada masa ini Amangkurat II berhasil menyelesaikan persoalan Pangeran Puger (adik Amangkurat II). Namun sebab tuntutan VOC padanya untuk membayar ganti rugi biaya perang dalam perang Trunajaya, Mataram lantas mengalami kesulitan keuangan. Dalam kesulitan itu dia berusaha ingkar kepada VOC dengan cara mendukung Surapati yang menjadi musuh dan buron VOC.
Hubungan Amangkurat II dan VOC menjadi tegang dan semakin memuncak. Setelah Amangkurat II mangkat dan digantikan oleh putranya, Amangkurat III. Dia juga menentang VOC, maka VOC tidak setuju dengan penobataanya dan lantas secara sepihak mengakui Pangeran Puger sebagai raja Mataram dengan gelar Paku Buwana I. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perang saudara yang dikenal dengan sebutan Perang Perebutan Mahkota I (1704-1708). Akhirnya Amangkurat III menyerah dan dibuang ke Sailan ooleh VOC. Sementara Pakubuwana I wajib membayar ongkos perang dengan menyerahkan Priangan, Cirebon, dan Madura bagian Timur kepada VOC.
Setelah Paku Buwana I meninggal pada tahun 1719. Dia digantikan oleh putranya Sunan Prabu atau Amangkurat IV (1719-1727). Dalam masa pemerintahannya terjadi Perang Perebutan Mahkota II (1917-1723), seperti biasa VOC turut andil dalam konflik ini. Sunan Prabu meninggal pada tahun 1727 dan diganti oleh Paku Buana II (1727-1749). Hubungan manis VOC dan Paku Buwana II menyebabkan rasa tidak suka golongan bangsawan yang merasa terancam akan peranannya dalam ekonomi. Hal ini menimbulkan pemberontakan Geger Patjina yang dipimpin oleh Raden Mas Said. Untuk menyelesaikan pemberontakan ini Paku Buwana II mengutus adiknya, Pangeran Mangkubumi dengan menjanjikan hadiah tanah di Sukowati (Sragen sekarang). Ketika Mangkubumi berhasil, Paku Buwana II justru mengingkarinya, sehingga Mangkubumi berdamai dengan Raden Mas Said dan berbalik melaksanakan pemberontakan yang disebut sebagai Perang Perebutan Mahkota III (1714-1755). Paku Buwana II dan VOC tidak mampu menghadapi 2 bangsawan yang didukung oleh rakyat itu, hingga akhirnya Paku Buwana II jatuh sakit dan wafat pada 1749 M. Namun menurut pengakuan Hogendorf, wakil VOC Semarang saat sakaratul maut Paku Buwana II menyerahkan tahtanya kepada VOC. Akhirnya VOC merasa berdaulat penuh atas Mataram dan mengangkat putra mahkota menjadi Paku Buwana III. Pengangkatan ini tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Justru saat itu terjadi perpecahan antara Mangkubumi dengan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada diatas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia untuk mengajak Mangkubumi berunding.
Ajakan itu diterima oleh Mangkubumi dan terjadilah apa yang disebut sebagai Palihan nagari atau Perjanjian Giyanti (1755). Isi perjanjian itu mataram dinagi menjadi 2 bagian. Bagian Barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono I yang mendirikan kraton di Yogyakarta (Kasultanan Yogyakarta). Sedangkan bagian timur, diberikan kepada Sri Susuhunan Paku Buwana III (Kasunanan Surakarata).
Kemudian pada tahun 1757, lewat Perjanjian Salatiga, Sunan PB III pun menyerahkan wilayah Karanganyar dan Wonogiri kepada sepupunya, Raden Mas Said, yang memimpin pemberontakan Geger Patjina saat Mataram diperintah oleh PB II. Raden Mas Said lalu menyatakan diri sebagai Mangkunegoro I, dan memimpin Puro Mangkunegaran sampai 1795. Hingga masa sekarang kita mengenal Kerajaan Mataram dalam wujud pemerintahan swa-praja, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Puro Mangkunegaran dan Puro Pakualaman. Puro Mangkunegara letaknya di kota Solo. Sementara Puro Pakualaman letaknya di wilayah Pajang, Bagelan sebelah barat Jogja dan letaknya di antara sungai Progo dan Bogowonto, di daerah Adikarto.